Bolehkah Minta Fatwa Kepada AI?

  • admin
  • Aug 11, 2025

 

  1. Pengertian Istifta’ dan Fatwa Menurut Ulama

Dalam bahasa Arab, istifta’ berarti meminta fatwa. Sedangkan fatwa adalah penjelasan hukum syariat yang diberikan oleh seorang ulama.

Dalam kitab Al-Misbah Al-Munir (2/462) disebutkan:

اسمٌ مِن: أفتى العالمُ؛ إذا بيّن الحكمَ. واستفتيتُه: سألتُه أنْ يفتيَ

“(Kata Fatwa) adalah kata benda dari ‘Afta al-‘Alim (Seorang alim memberikan penjelasan hukum). (Dan jika dikatakan): Istaf-taitu, artinya aku memintanya untuk memberi fatwa.”

Al-Raghib Al-Ashfahani dalam Mufradat Al-Qur’an (hal. 625) menjelaskan:

الفتيا والفتوى هي الجوابُ عما يُشكِل مِن الأحكام

“Fatwa adalah jawaban terhadap perkara yang sulit dari hukum-hukum syariat.”

Imam Al-Mardawi dalam Al-Inshaf (28/314) menegaskan:

والمفتي: مَن يبين الحكمَ الشرعي، ويخبر به، مِن غير إلزام. والحاكمُ -يعني القاضي-: مَن يبينه، ويُلزم به

“Mufti adalah orang yang menjelaskan hukum syariat dan memberitahukannya tanpa keharusan mematuhinya. Sedangkan hakim (qadhi) adalah orang yang menjelaskan hukum dan sekaligus mengharuskan penerapannya.”

 

  1. Pengertian Kecerdasan Buatan (AI) dan Hukum Dasarnya

Secara bahasa, istilah “Kecerdasan Buatan” (Artificial Intelligence/AI) kadang disebut juga “Kecerdasan Industri”.

Menurut definisi SDAIA (Otoritas Data dan AI Saudi):

“AI adalah sistem yang menggunakan teknologi untuk mengumpulkan data, memanfaatkannya untuk memprediksi, memberi rekomendasi, atau mengambil keputusan, dengan tingkat kendali otomatis yang bervariasi, demi mencapai tujuan tertentu.”

Hukum asal penggunaan AI adalah boleh, selama tidak digunakan untuk hal yang bertentangan dengan syariat Islam. Alasannya: hukum asal segala sesuatu adalah mubah, dan syariat datang untuk mewujudkan kemaslahatan serta menolak kerusakan.

Maka, penggunaan AI menjadi haram jika:

  • Mengandung hal yang diharamkan syariat.
  • Merugikan atau menzalimi orang lain.
  • Menyebarkan kemungkaran dan kerusakan moral.
  • Mengandung penipuan, manipulasi, atau informasi palsu yang menyesatkan.

Para peneliti juga mengingatkan bahayanya jika AI dijadikan pengganti peran manusia dalam banyak aspek kehidupan, termasuk hubungan sosial, yang bisa memunculkan kerusakan besar dalam jangka panjang.

 

  1. Cara Kerja AI dalam Memberikan Fatwa

AI yang diprogram untuk “berfatwa” akan bekerja dengan:

  1. Memasukkan sejumlah besar informasi dan data keislaman.
  2. Melatih sistem komputer untuk mengenali dan mengolah data tersebut.
  3. Menggabungkannya dengan data lain yang luas dari berbagai bidang.
  4. Menggunakan algoritma dan program statistik untuk membuat jawaban.

Jawaban tersebut dihasilkan sesuai pertanyaan yang masuk, namun prosesnya bukan seperti metode istinbat hukum yang dilakukan oleh para ulama.

 

  1. Syarat Seorang Mufti dan Mengapa AI Tidak Memenuhinya

Dalam Islam, posisi mufti adalah “juru tanda tangan” dari Allah dalam menjelaskan hukum-Nya kepada manusia. Ini tugas yang berat, dan hanya boleh dilakukan oleh orang yang memenuhi syarat seperti:

  • Beragama Islam.
  • Baligh dan berakal sehat.
  • Memiliki sifat adil dan amanah.
  • Menguasai ilmu syariat secara mendalam.
  • Memiliki kemampuan istinbat (mengambil kesimpulan hukum).
  • Memahami realitas dan kondisi masyarakat.

Imam Syafi’i berkata:

لا يحلُّ لأحدٍ يفتي في دين الله، إلا رجلًا عارفًا بكتاب الله: بناسخه ومنسوخه ، وبمُحكَمِه ومتشابِهِه، وتأويله وتنزيله ، ومكيِّه ومدنيِّه ، وما أُريد به ، وفيمَ أُنزل ، ثم يكون بعد ذلك بصيرًا بحديث رسولِ الله صلى الله عليه وسلم ، وبالناسخ والمنسوخ ، ويَعرف مِن الحديث مثلَ ما عرف مِن القرآن، ويكون بصيرًا باللغة، بصيرًا بالشِّعر، وما يحتاج إليه للعلم والقرآن، ويَستعمل مع هذا الإنصافَ، وقلةَ الكلام ، ويكون بعد هذا مشرفًا على اختلاف أهل الأمصار، ويكون له قريحةٌ بعد هذا.

فإذا كان هذا هكذا؛ فله أن يتكلمَ ويفتيَ في الحلال والحرام. وإذا لم يكن هكذا، فله [كذا، ولعله: فليس له] أنْ يتكلمَ في العلم ولا يفتي

“Tidak seorang pun yang boleh memberi fatwa dalam agama Allah kecuali bagi orang yang memahami Al-Qur’an beserta nasikh-mansukhnya, muhkam-mutasyabihnya, takwil dan tanzilnya, makki dan madani-nya, apa maksudnya dan sebab turunnya. Ia juga harus memahami hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, nasikh-mansukhnya, mengetahui hadits seperti apa yang ia ketahui dari al-Qur’an, menguasai bahasa Arab dan syair (Arab), serta apa saja yang dibutuhkan untuk ilmu dan al-Qur’an; lalu ‘membalut’ semuanya dengan sikap inshaf (adil-objektif) dan sedikit berbicara. Lalu selain itu, ia juga paham perbedaan pendapat ulama, dan memiliki pemahaman mendalam.” (Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Faqih wa al-Mutafaqqih, 2/331)

Ibnul Qayyim menambahkan bahwa: Seorang mufti harus memahami realitas peristiwa dan hukum Allah atas realitas tersebut. Lalu menggabungkan keduanya. (Lih: I’lam al-Muwaqqi’in, 1/189)

Kesimpulannya, AI tidak mungkin memenuhi syarat-syarat ini, karena ia hanyalah alat yang memproses data. Maka, tidak boleh menjadikan AI sebagai sumber fatwa yang diandalkan. Allah memerintahkan:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Maka bertanyalah kepada Ahlul dzikr (ulama) jika kalian tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

 

  1. Perbedaan AI dan Situs Fatwa Resmi

  • Situs Fatwa Resmi: Jawaban diberikan oleh ulama atau tim peneliti manusia, dan diterbitkan sesuai otoritas yang mengeluarkannya. Jika sumbernya terpercaya, fatwanya dapat diikuti.
  • AI: Menghasilkan jawaban otomatis dengan meniru manusia, berdasarkan data yang dikumpulkan dari internet, tanpa proses penalaran ilmiah seperti ulama.

 

  1. Kelemahan Fatwa dari AI

Ada beberapa sebab kenapa fatwa AI tidak bisa dijadikan rujukan:

  1. Sumber tidak jelas:

    – AI mengambil data dari berbagai sumber, termasuk yang tidak Islami atau menyimpang.

  2. Tidak mempertimbangkan konteks:

    – seperti perbedaan adat, kondisi individu, dan kemaslahatan yang berubah-ubah.

  3. AI Hallucination:

– membuat informasi palsu yang terdengar meyakinkan, bahkan disertai data atau nama fiktif.

  1. Bias ideologi:

– AI dapat dipengaruhi pandangan pembuatnya yang bertentangan dengan syariat.

 

  1. Siapa yang Boleh Menggunakan AI untuk Fatwa?

Ada dua golongan yang mungkin memanfaatkan AI:

  1. Mufti atau peneliti syariat

    – Boleh memakai AI untuk membantu mencari referensi, merangkum buku, atau memahami fenomena, asalkan semua data diverifikasi langsung dari sumber aslinya.

  2. Orang awam

    – Boleh menggunakan AI sekadar untuk pengetahuan umum, tidak untuk diamalkan langsung. Disarankan meminta AI mencantumkan sumber, lalu memeriksa kebenaran dari sumber tersebut.

 

  1. Pandangan Ulama Kontemporer

Ada dua pandangan ulama terkait fatwa AI:

  • Pandangan pertama

    : Melarang mutlak menggunakan AI untuk meminta fatwa.

  • Pandangan kedua

    : Membolehkan dalam kasus hukum-hukum tetap (seperti batal wudhu, rukun shalat) –BUKAN kasus-kasus ahwal syakhsiyyah yang bertumpu pada pertimbangan maslahat dan mudharat-. Tapi itupun dengan syarat: (1) sumber support AI-nya adalah sumber jelas, terpercaya dalam mengeluarkan fatwa, (2) Aplikasi AI itu bersumber dari fatwa-fatwa resmi pihak tersebut dan tidak mencampurnya dengan sumber lain yang tidak dipercaya, dan (3) penanya punya kemampuan untuk memahami jawabannya dengan benar.

Pendapat yang lebih kuat: Dalam kondisi AI saat ini, tidak boleh menjadikannya sebagai sumber fatwa utama.

Seorang Muslim wajib menjaga agamanya dan hanya mengambil ilmu dari sumber yang terpercaya dan diakui para ulama.

 

Disiapkan oleh: Dr. Muhammad Ihsan Zainuddin

Sumber: Hal Yajuzu Istifta’ al-Dzaka’ al-Ishthina’I, https://islamqa.info/ar/answers/540774/

 

 

Related Post :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *