- 1. Pendahuluan
- 2. Bakti Adalah Fitrah, Bukan Beban yang Bisa Dicabut
- 3. Kapan Permintaan Itu Bisa Terjadi?
- 4. Berbakti Pada Orang Tua Adalah Perintah Allah, Bukan Hanya Hak Orang Tua
- 5. Pendapat Ulama tentang Hikmah Syariat Birr al-Walidain (Berbakti pada Orangtua)
- 6. Dalil Keutamaan Berbakti pada Orang Tua bagi Anak
- 7. Tidak Semua Hak Boleh Dihapus
- 8. Kalau Anak Pernah Durhaka
- 9. Kesimpulan:
Pendahuluan
Bakti kepada orang tua (birrul walidain) adalah salah satu kewajiban terbesar dalam Islam. Ia bukan hanya tuntutan sosial atau adat, tapi merupakan perintah Allah yang disejajarkan dengan tauhid. Namun, bagaimana jika orang tua berkata: “Aku tidak menuntutmu untuk berbakti kepadaku”? Apakah ucapan ini membebaskan anak dari kewajiban tersebut?
Artikel ini akan membahasnya secara tuntas, berdasarkan dalil Al-Qur’an, hadis, dan penjelasan para ulama besar.
-
Bakti Adalah Fitrah, Bukan Beban yang Bisa Dicabut
Secara naluri, hubungan orang tua dan anak dibangun di atas kasih sayang, perhatian, dan saling membantu. Tidak pantas—bahkan terasa janggal—jika ada yang mencari cara untuk membebaskan diri dari kewajiban berbuat baik, apalagi jika yang meminta adalah salah satu dari orang tua itu sendiri.
Sulit dibayangkan ada ayah atau ibu yang berkata:
“Jangan urusi aku, jangan temani aku, jangan peduli padaku, jangan berkata manis kepadaku, jangan bantu aku kalau aku butuh, jangan jenguk saat aku sakit, jangan lindungi aku jika terzalimi, dan jangan rawat aku saat tua.”
Kalau hubungan antara orang tua dan anak normal, dan akal mereka sehat, permintaan seperti ini hampir mustahil keluar. Bahkan dalam dunia hewan sekalipun, ada ikatan kasih antara induk dan anaknya.
-
Kapan Permintaan Itu Bisa Terjadi?
Walau jarang, ucapan seperti ini bisa muncul dalam dua kondisi:
- Orang tua mengalami gangguan jiwa atau pikun, seperti penderita Alzheimer. Mereka sebenarnya tetap butuh bantuan anaknya, walaupun lisannya seakan menolak.
- Orang tua sedang marah besar. Permintaan ini lahir bukan dari hati yang lapang, melainkan luapan emosi.
Dalam dua keadaan ini, permintaan itu tidak menghapus kewajiban anak secara syariat. Hak orang tua tetap berlaku, dan anak akan tetap dimintai pertanggungjawaban di akhirat.
-
Berbakti Pada Orang Tua Adalah Perintah Allah, Bukan Hanya Hak Orang Tua
Allah ﷻ telah menetapkan perintah berbakti kepada orang tua dan menjadikannya kewajiban agama. Allah mengaitkan perintah ini langsung dengan ibadah kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu…” (QS. Al-Isra’: 23)
Bakti membawa manfaat bagi kedua pihak:
- Bagi orang tua: terpenuhi kebutuhan, mendapatkan perhatian, dan rasa tenang di usia senja.
- Bagi anak: pintu surga terbuka, dosa diampuni, hidup diberkahi, dan kesulitan di dunia dipermudah.
Pendapat Ulama tentang Hikmah Syariat Birr al-Walidain (Berbakti pada Orangtua)
Imam Ibnul Qayyim رحمه الله menjelaskan bahwa: Seluruh syariat dibangun atas hikmah dan kemaslahatan hamba, baik di dunia maupun di akhirat. Ia adalah keadilan seluruhnya, rahmat seluruhnya, maslahat seluruhnya, dan hikmah seluruhnya…Setiap kebaikan di alam semesta, ia berasal dari syariat. Setiap keburukan, penyebabnya adalah meninggalkan syariat. (Lih: I’lamul Muwaqqi’in, 3/429)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله menegaskan bahwa: Syariat datang untuk mewujudkan kemaslahatan dan menyempurnakannya, serta mencegah kerusakan dan menguranginya. (Lih: Majmu’ al-Fatawa, 20/48-50)
Maksudnya adalah bahwa berbakti pada orang tua merupakan bagian hak para anak agar bisa mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat yang hanya bisa didapatkan jika ia berbakti pada orang tuanya.
Dari sini jelas bahwa bakti bukan hanya hak orang tua, tapi juga ibadah yang manfaatnya kembali kepada anak.
-
Dalil Keutamaan Berbakti pada Orang Tua bagi Anak
Banyak hadis menegaskan bahwa bakti mengangkat derajat anak di dunia dan akhirat:
Pertama, Pintu Surga Terbesar:
Rasulullah ﷺ bersabda:
رَغِمَ أنْفُهُ، ثُمَّ رَغِمَ أنْفُهُ، ثُمَّ رَغِمَ أنْفُهُ قيلَ: مَنْ؟ يا رَسولَ اللهِ، قالَ: مَن أدْرَكَ والِدَيْهِ عِنْدَ الكِبَرِ، أحَدَهُما، أوْ كِلَيْهِما، ثُمَّ لَمْ يَدْخُلِ الجَنَّةَ
Artinya:
“Celakalah, celakalah, celakalah!” (Para sahabat) bertanya: “Siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Orang yang mendapati kedua orang tuanya atau salah satu di usia tua mereka, tapi ia tidak masuk Surga (karenanya).” (HR. Muslim)
Beliau juga bersabda:
الوالِدُ أوسطُ أبوابِ الجنَّةِ، فإنْ شِئتَ فأضِعْ ذلك البابَ أو احفَظْه
“Orang tua adalah pintu surga yang paling tengah. Jika engkau mau, sia-siakanlah pintu itu, atau jagalah ia.” (HR. al-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh al-Albani)
Kedua, Amal yang Menghapus Kesulitan Hidup:
Seperti kisah tiga orang yang terjebak di gua yang diceritakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satu dari mereka lalu berdoa dengan menyebut bakti kepada orang tuanya hingga Allah membukakan jalan keluar. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketiga, Lebih Utama dari Jihad yang Sifatnya Sunnah:
أَقْبَلَ رَجُلٌ إلى نَبِيِّ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ فَقالَ: أُبَايِعُكَ علَى الهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ، أَبْتَغِي الأجْرَ مِنَ اللهِ، قالَ: فَهلْ مِن وَالِدَيْكَ أَحَدٌ حَيٌّ؟ قالَ: نَعَمْ، بَلْ كِلَاهُمَا، قالَ: فَتَبْتَغِي الأجْرَ مِنَ اللهِ؟ قالَ: نَعَمْ، قالَ: فَارْجِعْ إلى وَالِدَيْكَ فأحْسِنْ صُحْبَتَهُمَا
Artinya:
“Seorang pria datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata: ‘Aku membaiatmu untuk berhijrah dan jihad, karena aku ingin mengharapkan pahala dari Allah.” Namun beliau bersabda: “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?”
“Ya, bahkan keduanya (masih hidup),” jawabnya. Rasulullah bertanya: “Apakah engkau mengharapkan pahala dari Allah?” (Pria) itu menjawab: “Iya.” Lalu beliau bersabda: “Kalau begitu, berbaktilah kepada keduanya. Perbaikilah hubunganmu dengan mereka.” (HR. Muslim)
Imam al-Qarafi رحمه الله menjelaskan bahwa dalam hadits ini Rasulullah ﷺ menempatkan kebersamaan dengan orang tua lebih utama daripada berjihad bersama beliau, padahal jihad itu mulia, apalagi di awal Islam. Ini menunjukkan keutamaan bakti melebihi banyak ibadah lainnya. (Lih: Al-Furuq, 1/144)
-
Tidak Semua Hak Boleh Dihapus
Ibnu Taimiyah رحمه الله menyatakan bahwa tidak semua hak yang dimiliki seseorang boleh ia hapuskan. Yang boleh dihapus hanyalah hak yang tidak mendatangkan mudarat jika ditinggalkan. Adapun hak yang jika dihapus menimbulkan mudarat, maka tidak sah menghapusnya.
Sebagai contoh, jika ada orang yang mengatakan: “Ajari aku sihir dan kekufuran, dan kamu akan saya maafkan karena menyesatkanku”, atau ada yang mengatakan: “Lakukanlah zina dengan istri atau putriku, dan aku akan memaafkanmu”; ini semua tidak membuat perbuatan-perbuatan haram itu bisa dan boleh dilakukan, meskipun ia sudah mengizinkan orang lain untuk melakukannya. (Lih: Majmu’ al-Fatawa, 15/128)
Karena itu, Hak bakti kepada orang tua termasuk hak yang tidak boleh dihapus, karena:
- Menghapusnya akan merugikan orang tua.
- Menghapusnya akan merugikan anak, baik di dunia maupun akhirat.
- Dan di atas itu semua, di dalamnya ada hak Allah ﷻ yang tidak bisa dihapus oleh manusia. Karena berbakti pada orang tua adalah ketetapan Syariat Allah, dan sudah menjadi hak Allah untuk kita tunduk mengagungkan dan menunaikan ketetapan SyariatNya.
-
Kalau Anak Pernah Durhaka
Jika anak pernah bersikap buruk atau meninggalkan bakti pada orangtuanya, maka ia wajib melakukan 2 hal ini:
- Bertobat kepada Allah atas pelanggaran perintah-Nya.
- Meminta maaf dan meminta keridhaan hati orang tua, karena itu hak mereka.
Dalam kasus seperti inilah, orang tua boleh memaafkan dan menggugurkan tuntutan. Bahkan dianjurkan memaafkan demi memperbaiki hubungan.
Kesimpulan:
- Bakti adalah perintah Allah yang manfaatnya untuk orang tua dan anak.
- Ucapan orang tua yang membebaskan anak dari kewajiban bakti tidak berlaku dalam hukum syariat.
- Hak ini tidak murni hak pribadi, melainkan mengandung hak Allah yang wajib dijaga.
- Meninggalkan bakti berarti kehilangan salah satu ibadah terbesar dan peluang meraih surga.
Disiapkan oleh: Dr. Muhammad Ihsan Zainuddin
Sumber: Hal Yasquthu Haqq al-Walidain fi al-Birr wa al-Ihsan Idza Asqathaahu? https://archive-1446.islamqa.info/ar/answers/551904/