Bolehkah Riya’ dalam Amalan Selain Ibadah?

  • admin
  • Aug 11, 2025
Riya’ dalam Amalan Selain Ibadah

 Riya dalam Ibadah Murni

Riya adalah melakukan ibadah bukan untuk Allah, tetapi untuk dilihat atau dipuji manusia. Ibadah murni yang dimaksud adalah ibadah yang Allah dan Rasul-Nya syariatkan seperti shalat, puasa, dzikir, haji, dan ibadah sejenisnya.

Jika seseorang melakukan ibadah-ibadah ini demi pamer atau mencari perhatian manusia, maka tidak ada pahala sedikit pun untuknya. Bahkan, ia justru berdosa karena niatnya rusak. Sebab, ibadah murni ini hanya boleh ditujukan untuk mengagungkan Allah semata. Memasukkan niat selain Allah di dalamnya termasuk syirik kecil yang dapat merusak ibadah secara keseluruhan atau sebagian.

Adapun perbuatan yang tergolong adat kebiasaan yang bersifat duniawi, seperti makan, berpakaian, atau pekerjaan sehari-hari — jika dilakukan untuk pamer — tidak sampai berdosa, namun menghilangkan pahala. Sebab, pahala dalam amal duniawi bergantung pada keikhlasan niat.

Imam Al-Ghazali rahimahullah berkata:

تحسين ‌الثوب الذي يلبسه الإنسان عند الخروج إلى الناس: مراءاةٌ، وهو ليس بحرام؛ لأنه ليس رياء بالعبادة، بل بالدنيا.

“Memperbagus pakaian saat keluar rumah demi dilihat orang adalah bentuk riya, tetapi tidak haram, karena bukan riya dalam ibadah, melainkan dalam urusan dunia.”
(Ihya’ Ulumuddin, 3/300)

Imam Asy-Syathibi rahimahullah menjelaskan bahwa perkara-perkara dunia seperti menikah, berdagang, atau menyewakan jasa termasuk kebutuhan yang syariat perintahkan demi kemaslahatan manusia. Selama niatnya memang untuk manfaat tersebut, tidaklah bertentangan dengan syariat. Bahkan, jika menikah dengan tujuan menjaga kehormatan sekaligus mendapat penilaian baik dari orang lain, pernikahan itu tetap sah karena tidak disyaratkan niat ibadah murni dalam adat kebiasaan.  (Lih: al-Muwafaqat, 2/374)

 

Amal Ibadah Tanpa Niat Ikhlas

Jika seseorang melakukan amal ibadah — seperti membaca Al-Qur’an, bersedekah, atau shalat — bukan untuk Allah, tapi untuk tujuan dunia seperti menenangkan pikiran atau mencari rasa aman, maka amal itu batal. Ibadah membutuhkan niat ikhlas untuk diterima. Tanpa itu, ibadah hanya menjadi kebiasaan biasa.

Contoh nyata adalah hadits Nabi ﷺ tentang hijrah:

فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ ينكحها، فهجرته إلى ما هاجر إليه

“Barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ingin ia dapatkan atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya itu sesuai dengan niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Artinya, ibadah seperti hijrah hanya bernilai pahala jika diniatkan karena Allah. Jika tujuannya selain Allah, maka tidak ada pahala baginya. Hal ini ditegaskan pula oleh firman Allah dalam QS. Hud ayat 15–16 yang menyatakan bahwa orang yang beramal untuk dunia akan diberi balasan di dunia saja, tetapi tidak mendapat bagian di akhirat.

 

Menggabungkan Niat Ibadah dan Manfaat Dunia

Jika seseorang berniat ibadah karena Allah sebagai niat utama, lalu ia juga berharap mendapat manfaat dunia sebagai tujuan sampingan, maka hal ini tidak termasuk riya. Justru ini bagian dari karunia Allah yang menggabungkan kebaikan dunia dan akhirat dalam satu amal.

Misalnya:

  • Menyambung silaturahmi untuk memperpanjang umur dan melapangkan rezeki:

مَن سرَّه أن يُبسط له في رزقه ، أو يُنسأ له في أثره ، فليصِل رحِمَه

“Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya, atau dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung kekerabatannya.”  (HR. al-Bukhari)

  • Berjihad untuk meninggikan kalimat Allah, sekaligus berharap mendapat harta rampasan perang untuk kebutuhan hidup (HR. Muslim).
  • Berhaji sambil berdagang, atau berpuasa sekaligus untuk kesehatan tubuh.

Para ulama sepakat bahwa manfaat dunia yang datang secara ikut serta dalam ibadah tidak membatalkan amal, selama niat utamanya tetap karena Allah.

Syekh al-Utsaimin rahimahullah mengatakan:

“Jika seseorang meniatkan dengan amalnya 2 kebaikan: kebaikan dunia dan kebaikan Akhirat, maka itu tidak mengapa, karena Allah berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

‘Siapa yang bertakwa kepada Allah, (Allah) akan memberinya jalan keluar, serta memberinya rezki dari arah yang tidak disangka.’

Dan ini adalah motivasi untuk bertakwa (pada Allah) dengan janji duniawi.” (Lih: Majmu’ Fatawa wa Rasa’il al-‘Utsaimin, 2/208)

 

Meninggalkan Maksiat Karena Malu pada Manusia

Jika seseorang meninggalkan maksiat hanya karena takut malu pada manusia, bukan karena takut pada Allah, maka itu termasuk riya dan tidak berpahala. Bahkan, bisa berdosa karena ia menjadikan rasa takut kepada manusia lebih besar daripada takut kepada Allah.

Ibn Rajab rahimahullah berkata:

فأما إن همّ بمعصية، ثم ترك عملها خوفا من المخلوقين، أو مراءاة لهم ، فقد قيل : إنه يعاقب على تركها بهذه النية ؛ لأن تقديم خوف المخلوقين على خوف الله محرم

“Maka Adapun jika ia berniat untuk maksiat, lalu ia meninggalkannya (maksiat) karena takut pada manusia atau demi pamer, maka (Sebagian ulama berpandangan-edt) ia bisa dihukum (oleh Allah) jika meninggalkan maksiat dengan niat seperti ini, karena mendahulukan rasa takut kepada makhluk atas rasa takut pada Allah itu diharamkan.” (Jami’ al-‘Ulum wal-Hikam, 2/321)

Ibnul Qayyim rahimahullah menegaskan bahwa meninggalkan maksiat bukan karena Allah sama buruknya dengan mengerjakannya bukan karena Allah.  (Lih: Syifa’ al-‘Alil, hal. 170)

 

Kesimpulan:

  • Riya dalam ibadah murni seperti shalat dan puasa adalah syirik kecil yang merusak amal.
  • Riya dalam adat atau amalan duniawi tidak berdosa, tetapi menghilangkan pahala.
  • Menggabungkan niat ibadah dan manfaat dunia diperbolehkan jika niat utama tetap karena Allah.
  • Meninggalkan maksiat karena manusia adalah riya dan tidak berpahala.

Semua ibadah sejatinya ditujukan untuk Allah semata. Keikhlasan adalah ruh ibadah, dan tanpa itu amal akan kosong dari nilai di sisi-Nya.

 

Disiapkan oleh: Dr. Muhammad Ihsan Zainuddin

Sumber: Hal al-Riya’ fi Ghair al-‘Ibadat Muharram? https://archive-1446.islamqa.info/ar/answers/568736/

 

Related Post :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *