Pendahuluan
Dalam Islam, pernikahan bukan sekadar urusan pribadi antara dua insan, melainkan juga tanggung jawab keluarga, khususnya wali. Wali memiliki hak dan kewajiban untuk memastikan bahwa calon suami benar-benar layak bagi putrinya. Lalu, dalam kondisi apa wali boleh menolak lamaran seorang pria?
Artikel ini akan membahas hukum menolak lamaran, syarat dalam akad nikah, hingga risiko tinggal di negara non-Muslim menurut pandangan Islam.
Wali dan Haknya dalam Pernikahan
Syariat Islam menempatkan pernikahan seorang wanita di bawah tanggung jawab wali. Hal ini karena wali biasanya lebih bijak dalam menilai calon pasangan yang pantas, sedangkan wanita cenderung lebih mudah terbawa perasaan.
Namun, Islam juga mengajarkan bahwa standar utama dalam memilih calon suami adalah agama dan akhlak. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ ، إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ ، وَفَسَادٌ عَرِيضٌ
“Apabila datang kepada kalian seorang laki-laki (untuk meminang) yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang luas.” (HR. Tirmidzi no. 1084, hasan menurut Al-Albani).
Pertimbangan Wali dalam Menerima atau Menolak Lamaran
Walaupun agama dan akhlak menjadi syarat utama, wali juga boleh mempertimbangkan faktor lain yang menyangkut kemaslahatan wanita.
-
Kondisi Ekonomi Calon Suami
Nabi ﷺ pernah menasihati Fathimah binti Qais agar menolak lamaran Mu’awiyah bin Abi Sufyan, karena saat itu beliau miskin dan tidak memiliki harta. (HR. Muslim no. 1480).
Padahal, Mu’awiyah رضي الله عنه memiliki kedudukan tinggi dalam agama dan akhlak. Tetapi secara realistis, menikah dengan lelaki miskin bisa menyulitkan kehidupan wanita.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun seorang laki-laki baik agamanya, faktor ekonomi tetap penting karena kehidupan rumah tangga bisa menjadi sulit tanpa bekal materi yang cukup.
-
Akhlak dan Perilaku Calon Suami
Dalam hadis yang sama, Nabi ﷺ juga menolak lamaran Abu Jahm untuk Fathimah, karena ia dikenal suka memukul wanita. Artinya, perilaku buruk seperti kasar, mudah marah, atau suka menyakiti pasangan adalah alasan yang sah bagi wali untuk menolak lamaran.
-
Tempat Tinggal dan Lingkungan
Wali juga boleh mempertimbangkan keberlangsungan hidup wanita setelah menikah, termasuk tempat tinggal. Jika calon suami berencana tinggal di daerah yang bisa membahayakan agama atau keselamatan anak-anak, wali berhak menolak.
Selain itu, para ulama membolehkan wanita mengajukan syarat tertentu dalam akad nikah yang dianggap membawa kemaslahatan, misalnya: meminta agar suami tidak membawanya pindah dari daerah asal.
Ibnu Qudamah رحمه الله berkata:
وَجُمْلَةُ ذَلِكَ : أَنَّ الشُّرُوطَ فِي النِّكَاحِ تَنْقَسِمُ أَقْسَامًا ثَلَاثَةً ، أَحَدُهَا : مَا يَلْزَمُ الْوَفَاءُ بِهِ ، وَهُوَ مَا يَعُودُ إلَيْهَا نَفْعُهُ وَفَائِدَتُهُ ، مِثْلُ : أَنْ يَشْتَرِطَ لَهَا أَنْ لَا يُخْرِجَهَا مِنْ دَارِهَا أَوْ بَلَدِهَا أَوْ لَا يُسَافِرَ بِهَا، أَوْ لَا يَتَزَوَّجَ عَلَيْهَا فَهَذَا يَلْزَمُهُ الْوَفَاءُ لَهَا بِهِ
“Secara garis besar, syarat dalam pernikahan terbagi menjadi tiga. Salah satunya adalah syarat yang wajib dipenuhi, yaitu syarat yang kembali kepada kemanfaatan istri. Misalnya, ia mensyaratkan agar tidak dipindahkan dari rumah atau kampungnya, atau agar suami tidak membawanya bepergian jauh, atau agar suami tidak menikah lagi atas dirinya. Maka syarat seperti ini wajib dipenuhi suami.” (Al-Mughni, 9/483).
Syarat-Syarat dalam Akad Nikah Menurut Islam
Islam memberi ruang bagi wanita (dan juga wali) untuk menetapkan syarat tertentu dalam akad nikah demi kemaslahatan.
Beberapa syarat yang dibolehkan antara lain:
- Istri tidak dibawa pindah dari kampung halamannya.
- Suami tidak membawanya bepergian jauh.
- Suami tidak menikah lagi selama akad masih berlangsung.
Ibnu Qudamah رحمه الله dalam Al-Mughni menjelaskan bahwa syarat-syarat seperti ini wajib dipenuhi suami, karena berkaitan langsung dengan hak dan kemaslahatan istri.
Bahkan, para ulama juga membolehkan wali yang menetapkan syarat semacam itu untuk kepentingannya sendiri, bukan hanya untuk anaknya. Misalnya, seorang ayah yang sudah lanjut usia dan tidak ada yang melayaninya kecuali putrinya, maka ia boleh mensyaratkan agar calon suami tidak membawanya pergi jauh, agar putrinya tetap bisa merawatnya.
Tinggal di Negara Non-Muslim: Boleh atau Tidak?
Tinggal di negara non-Muslim hukumnya bisa jadi boleh, bisa juga haram, tergantung pada kondisi seorang Muslim di sana. Pertimbangannya antara lain:
- Apakah ia mampu menjaga agamanya?
- Apakah istri dan anak-anaknya bisa tetap terjaga dalam akidah, ibadah, dan akhlak mereka?
- Apakah ia bisa menampakkan syiar-syiar Islam dengan baik?
Salah satu pertimbangan besar dalam pernikahan adalah lokasi tempat tinggal setelah menikah. Bagaimana jika calon suami tinggal atau ingin menetap di negara non-Muslim?
Hukum Tinggal di Negeri Non-Muslim
Hukum ini tergantung pada kondisi:
- Boleh, jika seorang Muslim mampu menjaga agamanya, keluarganya, serta tetap bisa menampakkan syiar Islam.
- Haram, jika ada kekhawatiran besar terhadap aqidah, ibadah, dan moral keluarga.
Risiko Besar Tinggal di Negara Non-Muslim
- Anak-anak sulit menjaga akidah dan ibadah mereka.
- Lingkungan bisa merusak akhlak generasi muda.
- Sulit menegakkan syiar Islam dengan bebas.
Karena itulah, wali berhak bahkan terkadang wajib menolak lamaran seorang pria jika ia berencana tinggal di negara non-Muslim, demi menjaga agama dan keselamatan keluarga dari kerusakan.
Kesimpulan: Hak Wali dan Kemaslahatan Wanita
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan:
- Wali berhak menolak lamaran jika calon suami tidak memenuhi syarat agama, akhlak, maupun kemaslahatan hidup.
- Faktor ekonomi, akhlak, serta lingkungan tempat tinggal boleh menjadi pertimbangan sah.
- Menetap di negara non-Muslim penuh risiko terhadap agama dan akhlak, sehingga wali boleh menolak demi menjaga masa depan putrinya.
Islam selalu menempatkan kemaslahatan wanita dan keluarganya sebagai prioritas. Oleh karena itu, wali bukan hanya sekadar penjaga formalitas pernikahan, tetapi juga pelindung bagi masa depan putrinya.
Wallahu a‘lam.
Disiapkan oleh: Dr. Muhammad Ihsan Zainuddin
Sumber: https://archive-1446.islamqa.info/ar/answers/499820/