Apa hukumnya jika seseorang mencuri atau merusak barang ketika masih kecil?
Apakah orang tua wajib menggantinya?
Bagaimana cara mengembalikan barang curian tanpa harus mengaku?
Simak penjelasan ulama berikut.
Pertama: Mencuri di Masa Kecil: Tidak Berdosa, Tapi Wajib Mengganti:
Apabila seseorang mencuri ketika masih kecil, maka ia wajib mengganti barang yang dicurinya, baik dengan mengembalikan barang yang sama (jika masih ada) atau mengganti dengan nilai harganya. Namun, ia tidak berdosa atas perbuatan mencuri tersebut jika dilakukan sebelum baligh, karena anak kecil belum terkena kewajiban hukum syariat (taklif).
Kewajiban mengganti ini termasuk dalam khitab al-wad’ (aturan hukum yang berkaitan dengan sebab dan akibat), bukan khitab al-taklif (perintah dan larangan bagi yang sudah mukallaf). Contohnya, jika anak kecil merusak sesuatu, ia tetap berkewajiban menanggung ganti rugi.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata dalam al-Majmu’ (7/37):
“Ibnu al-Mundzir berkata: ‘Para ulama sepakat bahwa kesalahan yang dilakukan anak-anak tetap menjadi tanggung jawab mereka untuk diganti dengan harta mereka.’”
Dalam al-Syarh al-Kabir karya ad-Dardir (3/296) dijelaskan:
“Anak kecil, meskipun belum mumayyiz, tetap wajib mengganti segala kerusakan yang ditimbulkannya. Jika ia memiliki harta, ganti rugi diambil dari hartanya. Jika tidak, maka kewajiban itu menjadi tanggungan dalam dirinya hingga mampu membayar.”
Apakah Orang Tua Wajib Mengganti?
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya:
“Jika seorang anak kecil merusak barang milik orang lain, apakah walinya (orang tua/penanggung) wajib mengganti kerusakan tersebut?”
Beliau menjawab:
“Tidak wajib bagi walinya, kecuali jika wali itu sendiri yang menyuruhnya. Kewajiban ganti rugi tetap pada anak kecil tersebut. Jika ia memiliki harta, diambil dari hartanya, dan jika tidak, maka tetap menjadi tanggungannya hingga ia mampu. Namun, jika walinya memilih untuk menggantinya, maka ia juga wajib memberi kepada anak-anaknya yang lain sejumlah yang sama (agar adil).” (Lih: Tsamrat at-Tadwin, hal. 120)
Kasus lain:
Seseorang bertanya kepada para ulama al-Lajnah ad-Da’imah (Komite Fatwa Saudi):
“Sejak kecil, saya sering mengambil uang atau barang milik ayah tanpa sepengetahuannya. Setelah dewasa, saya takut kepada Allah dan berhenti melakukannya. Apakah saya harus mengaku kepada ayah?”
Mereka menjawab:
“Wajib bagimu untuk mengembalikan uang atau barang yang diambil dari ayahmu, kecuali jika yang diambil itu sedikit dan digunakan untuk kebutuhan nafkah, maka tidak mengapa.” (Lih: Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah, 15/352)
Kedua: Mengembalikan Barang Curian Tanpa Harus Mengaku:
Tidak wajib memberi tahu pemilik barang bahwa kita pernah mencurinya. Yang penting adalah mengembalikan barang atau nilainya, meskipun dengan cara menyamarkannya, misalnya dengan memberikannya dalam bentuk hadiah.
Jika mengembalikan barang yang sama akan membuat rahasia terbongkar, bisa membuka aib atau menimbulkan rasa malu, cukup mengembalikan nilai harganya saat ini. Cara mengembalikannya bisa dengan:
- Memberikan dalam bentuk hadiah.
- Transfer ke rekening pemilik.
- Menitipkan melalui orang yang dipercaya.
Fatwa Ulama Tentang Cara Mengembalikan Barang Curian:
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang telah bertaubat dari mencuri namun malu atau takut diketahui oleh pemilik barang. Beliau menjawab:
“Wajib mengembalikan harta kepada pemiliknya dengan cara apa pun yang memungkinkan, meskipun tanpa memberi tahu bahwa itu darinya. Bisa dikirim melalui orang yang dipercaya, melalui pos, atau cara lainnya. Tidak boleh menahan harta itu. Jika tidak memungkinkan mengembalikannya langsung, maka disedekahkan atas nama pemiliknya. Tetapi jika suatu saat mampu, tetap wajib mengembalikannya kepada pemilik.” (Lih: Fatawa Nur ‘ala ad-Darb)
Kasus Penjaga Gudang:
Beliau juga pernah menjawab kasus seorang penjaga gudang berusia 19 tahun yang mencuri barang, lalu barang tersebut sudah dijual, dan ia tidak mampu mengaku. Syaikh Bin Baz berkata:
“Jika mampu, ia harus mengembalikan nilai barang tersebut kepada pemilik gudang dengan cara apa pun, walaupun tanpa menyebutkan namanya. Jika benar-benar tidak mampu, maka disedekahkan atas nama pemiliknya untuk fakir miskin atau proyek amal seperti pembangunan masjid. Namun, bila suatu saat mampu, wajib mengembalikannya kepada pemilik. Disertai taubat, penyesalan, dan tekad bulat untuk tidak mengulanginya lagi.”
(Lih. Fatawa Nur ‘ala ad-Darb)
Kesimpulan Penting:
- Anak kecil tidak berdosa ketika mencuri atau merusak, tapi tetap wajib mengganti kerugian.
- Wali/orang tua tidak otomatis wajib mengganti kecuali jika mereka menyuruh anak melakukannya.
- Mengembalikan barang curian tidak harus mengaku, yang penting nilainya sampai ke pemilik.
- Jika tidak memungkinkan mengembalikan langsung, bisa lewat perantara atau sedekah atas nama pemilik.
- Semua harus disertai taubat dan tekad kuat untuk tidak mengulangi.
Disiapkan oleh: Dr. Muhammad Ihsan Zainuddin
Sumber: https://archive-1446.islamqa.info/ar/answers/578193/