Hukum Menjual dengan Keuntungan Berlipat Ganda?

  • admin
  • Aug 11, 2025

 

Pertama, Tidak Ada Batas Margin Keuntungan dalam Islam:

Tidak masalah menjual barang kepada perusahaan dengan harga Rp50.000 padahal modalnya Rp35.000, atau bahkan modalnya Rp15.000 — asalkan dilakukan dengan cara yang dibolehkan syariat. Dalam Islam, tidak ada batas tertentu untuk besaran keuntungan. Seorang pedagang boleh saja mengambil untung 50%, 100%, atau bahkan lebih, selama tidak melakukan:

  • Penimbunan barang (ihtikar),
  • Penipuan,
  • Memanfaatkan ketidaktahuan pembeli tentang harga pasar.

Patokannya adalah kerelaan kedua belah pihak, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ 

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian.” (QS. An-Nisa: 29)

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

“Jual beli itu harus dilakukan atas dasar suka sama suka.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan Al-Albani)

 

Dalil bahwa tidak ada batas keuntungan

  • Kisah Urwah al-Bariqi:
    Rasulullah ﷺ memberikan beliau satu dinar untuk membeli seekor kambing. Beliau berhasil membeli dua ekor kambing, lalu menjual satu ekor dengan harga satu dinar, sehingga ia pulang membawa satu ekor kambing plus satu dinar. Nabi ﷺ pun mendoakannya:

بَارَكَ اللَّهُ لَكَ فِي صَفْقَةِ يَمِينِكَ

“Semoga Allah memberkahi transaksi tangan kananmu.”

Setelah itu Urwah sering mendapatkan keuntungan besar hingga menjadi salah satu orang terkaya di Kufah. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah – shahih)

Ini menunjukkan keuntungan 100% pernah terjadi dan diakui serta diberkahi Nabi .

  • Kisah Zubair bin Awwam Radhiyallahu ‘anhu:
    Beliau membeli sebidang tanah seharga 170 ribu dirham. Setelah wafatnya, anak beliau Abdullah menjualnya seharga 1,6 juta dirham — lebih dari 9 kali lipat harga modal. (HR. Bukhari)

Ini menunjukkan bahwa tidak ada batas margin tertentu dalam Islam.

 

Beberapa Fatwa Ulama tentang hal ini:

Fatwa Lajnah Daimah menjelaskan bahwa:
Seorang pedagang boleh menjual barang dengan harga berbeda kepada pembeli yang berbeda, asalkan:

  • Barang tersebut sudah dimiliki secara sah,
  • Tidak ada kebohongan pada pembeli,
  • Tidak ada unsur penipuan,
  • Tidak melanggar harga pasar secara zalim.

Meski halal mengambil untung besar, Islam menganjurkan untuk memberikan kemudahan, dermawan, dan tidak serakah, karena itu akan mendatangkan kebaikan dan keberkahan. (Lih. Fatawa al-Lajnah al-Da’imah, 13/88)

 

Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan bahwa:
Keuntungan dagang tidak dibatasi secara syar’i. Selama pembeli rela dan tahu harga pasar, maka berapapun keuntungannya halal. Namun haram jika memanfaatkan pembeli yang tidak tahu harga dan menjual dengan harga jauh di atas pasar tanpa penjelasan.

Kalau ada orang menimbun barang dan hanya mau menjual dengan harga yang memberatkan, penguasa boleh memaksa menjual dengan harga wajar demi kemaslahatan umum.  (Lih. Fatawa Nur ‘ala al-Darb, 2/16)

 

Kedua, Harus Jujur Soal Harga Kepada Orang yang Tidak Mengerti:
Jika barang memiliki harga pasar yang jelas, haram menipu pembeli yang tidak tahu harga. Jika ingin menjual lebih mahal dari harga pasar, penjual wajib terang-terangan menyebutkan harga pasar dan alasan menjual lebih tinggi.

Syaikh Bin Baz menegaskan, seorang Muslim tidak boleh menjual dengan harga yang jauh lebih mahal untuk menipu orang yang tidak tahu, apalagi saudaranya sesama Muslim. Jika harga pasar jelas, katakanlah apa adanya, lalu sampaikan alasan kenapa harga yang ditawarkan lebih tinggi.  (Lih. Fatawa Nur ‘ala al-Darb, 19/53)

Namun jika barang tidak punya harga pasar tetap (misalnya barang unik, barang lelang, atau pembeli sudah tahu harga pasar), maka penjual bebas menentukan keuntungan berapapun.

 

Kesimpulan:
Dalam Islam, tidak ada batas persentase keuntungan yang ditetapkan. Yang penting:

  1. Ada kerelaan kedua belah pihak,
  2. Tidak ada penipuan atau pemanfaatan ketidaktahuan,
  3. Tidak ada penimbunan barang untuk menaikkan harga secara zalim.

 

Disiapkan oleh: Dr. Muhammad Ihsan Zainuddin

Sumber: Ma Miqdar al-Ribh al-Masmuh bihi fi al-Syari’ah? https://archive-1446.islamqa.info/ar/answers/580941/

 

Related Post :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *