- 1. Pentingnya Bersikap Adil dalam Menilai Ulama dan Perbedaan Akidah
- 2. Fenomena Berlebihan dalam Membid‘ahkan dan Mengkafirkan
- 3. Empat Kesalahan Utama dalam Mengkafirkan Asy‘ariyyah
- 4. Fakta Penting tentang Asy‘ariyyah
- 5. Kesesatan Kelompok Ekstrim dan Kritik Terhadapnya
- 5.1 Kesalahan Pertama: Mencampuradukkan Takfir Mutlak dan Takfir Individu
- 5.2 Kesalahan Kedua: Menyamakan Asy‘ariyyah dengan Jahmiyyah
- 5.3 Kesalahan Ketiga: Mengkafirkan Ulama Asy’ariyah Secara Personal
- 5.4 Kesalahan Keempat: Fanatisme pada Pendapat Sendiri dan Berani Menyelisihi Ulama Besar
- 5.5 Pentingnya Bersikap Adil dalam Menilai Ulama
Pentingnya Bersikap Adil dalam Menilai Ulama dan Perbedaan Akidah
Sesungguhnya sikap adil dan objektif termasuk bagian dari keadilan yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan. Ia adalah akhlak agung sekaligus timbangan yang halus, dengannya dapat dikenali keutamaan para ulama, terjaga persatuan umat, serta terpelihara jasa para pendahulu dari upaya meremehkan dan mengingkarinya.
Di antara bentuk keadilan dan sikap objektif yang sempurna adalah menimbang manusia dengan timbangan syariat, bukan hawa nafsu. Artinya, kita memuji apa yang sesuai dengan kebenaran, dan menjelaskan kesalahan yang terjadi, sembari tetap menjaga kedudukan ilmiah mereka. Maka, kebenaran tidak boleh ditinggalkan hanya karena bercampur dengan kebatilan, dan kebatilan pun tidak boleh diterima hanya karena ada kebenaran di sisi mereka.
Fenomena Berlebihan dalam Membid‘ahkan dan Mengkafirkan
Akan tetapi, dalam beberapa tahun terakhir dunia keilmuan diuji dengan “penyakit berbahaya”, yaitu sikap berlebihan dalam membid‘ahkan, menyesatkan, dan mengkafirkan. Salah satu fenomena yang paling menonjol dalam hal ini adalah sikap terhadap Asy‘ariyyah dan para ulama mereka. Sebab, muncul sekelompok orang yang melampaui batas, mengkafirkan kaum Asy‘ari secara mutlak, bahkan berani mengkafirkan individu tertentu dan menyesatkan ulama mereka yang tidak bisa dipungkiri jasanya dalam membela Islam.
Di antara mereka yang seringkali “menjadi korban” adalah dua imam besar: Imam an-Nawawi dan Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahumallah, serta tokoh-tokoh lainnya dari kalangan ulama umat, yang karya-karya mereka memenuhi dunia dalam berbagai bidang ilmu. Cukuplah menjadi bukti keagungan keduanya, bahwa mereka adalah penulis dua syarah terbaik bagi dua kitab paling sahih setelah Kitabullah, yaitu Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Itu saja sudah cukup menunjukkan kedudukan tinggi mereka, pengaruh besar mereka bagi umat, apalagi jika ditambah keluasan ilmu, kualitas penulisan, kedalaman pemahaman, dan kebermanfaatan yang terus dirasakan hingga hari ini.
Mereka dikenal sebagai sosok yang memuliakan sunnah dan atsar, membelanya, mencintai salaf, serta mengecam bid‘ah dan pelakunya. Hanya saja, karena mereka tumbuh di lingkungan Asy‘ariyyah, maka terjadilah pada diri mereka hal-hal tertentu. Namun demikian, mereka tidak tenggelam dalam filsafat atau ilmu kalam. Oleh sebab itu, memaafkan mereka adalah kewajiban. Lagi pula, keduanya juga berbeda dari Asy‘ariyyah dalam banyak masalah, bahkan penolakan Ibnu Hajar terhadap sebagian pendapat Asy‘ariyyah lebih jelas dibanding Imam an-Nawawi.
Bagaimanapun juga, tidak diragukan bahwa siapa pun yang menelaah perkataan para ulama akan mengetahui bahwa keduanya adalah ulama besar Islam yang telah berjasa besar dalam berkhidmat pada sunnah Nabi ﷺ dan membelanya. Allah pun menakdirkan karya-karya mereka diterima luas dan menyebar di tengah kaum muslimin dari berbagai golongan. Maka sikap objektif yang benar adalah mengingatkan terhadap kesalahan mereka dalam masalah akidah, tanpa menutup mata dari jasa agung yang telah mereka berikan dalam tafsir, hadis, fikih, ushul, dan berbagai disiplin ilmu lainnya.
Empat Kesalahan Utama dalam Mengkafirkan Asy‘ariyyah
Sesungguhnya sikap berlebihan yang lahir dari kelompok ini tidak lain berakar dari kekeliruan dalam memahami manhaj dan kegamangan dalam metode beragama serta berpikir. Secara umum, kesalahan tersebut dapat diringkas menjadi empat sebab atau titik kekeliruan, yang akan menjadi pokok bahasan tulisan ini:
- Mencampuradukkan antara takfir mutlak (vonis umum) dan takfir mu‘ayyan (vonis individu).
- Menyamakan antara Asy‘ariyyah dengan Jahmiyyah.
- Mengabaikan perbedaan antara takwil dan pengingkaran, sehingga setiap orang yang menakwil dianggap setara dengan pengingkar dan penolak kebenaran.
- Terlalu mengandalkan pendapat pribadi dan berani menyelisihi para ulama besar Ahlus Sunnah yang rabbani, tanpa menghargai kedudukan dan ilmu mereka.
Dari sini tampaklah pentingnya sikap objektif dan adil dalam masalah ini: menjaga kemurnian akidah yang benar di satu sisi, sekaligus tetap menghormati kedudukan ulama umat dan jasa-jasa mereka di sisi lain.
Fakta Penting tentang Asy‘ariyyah
Sebelum masuk pada pembahasan detail mengenai titik-titik kesalahan itu, perlu disebutkan beberapa fakta penting tentang Asy‘ariyyah dan mazhab Asy‘ari:
- Mazhab Asy‘ari adalah salah satu mazhab dalam Islam yang memang menyelisihi manhaj salaf –yaitu manhaj Ahlus Sunnah wal Jama‘ah– dalam sejumlah masalah akidah (baca: tidak menyelisihi manhaj Ahlussunnah secara keseluruhan).
- Asy‘ariyyah generasi awal lebih baik dibandingkan generasi belakangan yang banyak terpengaruh filsafat Yunani dan perdebatan kalam.
- Para ulama Asy‘ariyyah memiliki peran besar dalam membela Islam dari serangan kaum ateis, Mu‘tazilah, dan Jahmiyyah. Bahkan banyak ulama muslim yang memuji jasa mereka, sebagaimana akan dijelaskan kemudian.
- Pada masa awal kemunculannya, mazhab Asy‘ari memang asing dari manhaj Ahlul Hadits dan Sunnah. Hal ini sempat menimbulkan jarak dan penolakan keras, bahkan sampai ke tingkat saling mengkafirkan di antara sebagian pihak. Namun, sejak abad keenam dan ketujuh hijriah, sangat jarang ditemukan ulama Ahlus Sunnah yang mengkafirkan Asy‘ariyyah dan ulama mereka, kecuali dalam kasus-kasus tertentu yang langka. Hingga pada era modern, muncul sekelompok kecil yang menyamakan Asy‘ariyyah dengan Jahmiyyah murni, tanpa perbedaan yang adil, dan tanpa mempertimbangkan perbedaan mendasar di antara keduanya.
Kesesatan Kelompok Ekstrim dan Kritik Terhadapnya
Setelah menelaah manhaj kaum ekstremis takfir kontemporer, ternyata metode mereka dibangun di atas empat kesalahan mendasar yang saling bertumpuk:
Pertama, Mengutip pernyataan salaf secara parsial.
Misalnya ucapan sebagian ulama salaf yang general, seperti:
“Siapa yang mengatakan begini, maka ia kafir”, atau
“Siapa yang mengatakan Al-Qur’an makhluk atau mengingkari ketinggian Allah, maka ia Jahmi.”
Setelah itu, mereka pindah ke tahap kedua, yaitu:
Kedua, Menggeneralisasi takfir salaf terhadap Jahmiyyah.
Mereka lalu menggabungkan riwayat bahwa salaf mengkafirkan Jahmiyyah, kemudian menambahkan bahwa sebagian ulama menyebut Asy‘ariyyah sebagai Jahmiyyah. Sehingga hasil akhirnya adalah:
-
- Asy‘ariyyah = Jahmiyyah
- Jahmiyyah = Kafir
- Maka Asy‘ariyyah = Kafir.
Mereka hanya mengambil sebagian kecil pendapat ulama yang men-takfir, sambil mengabaikan banyak sekali ulama besar yang tidak mengkafirkan Asy‘ariyyah, bahkan mendoakan rahmat dan menyanjung karya-karya mereka.
Ketiga, Menetapkan takfir Asy‘ariyyah secara mutlak.
Setelah keyakinan ini mantap, mereka melangkah lebih jauh: mengkafirkan seluruh ulama Asy‘ariyyah, betapapun besar jasa mereka dalam agama.
Termasuk tokoh besar seperti:
-
- Imam an-Nawawi
- Ibnu Hajar al-‘Asqalani
- Bahkan juga ulama lain seperti: Ibnu Shalah, al-‘Izz bin ‘Abd as-Salam, dan Ibnu Daqiq al-‘Id.
Begitulah, dengan sangat gampangnya mereka menyederhanakan masalah besar akidah seperti rumus matematika.
Bagi mereka, masalah rumit dalam ushul akidah diperas menjadi logika sederhana ala persamaan: jika B + 2 = 3, maka B = 1.
Padahal masalah akidah tidak sesederhana itu, dan tidak bisa diselesaikan dengan logika kering dan kaku semacam itu!
Berikut 4 kesalahan kelompok ekstrim terhadap kelompok Asya’irah:
Kesalahan Pertama: Mencampuradukkan Takfir Mutlak dan Takfir Individu
Salah satu prinsip penting dalam akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah bahwa hukum takfir (pengkafiran) pada dasarnya berlaku terhadap ucapan, perbuatan, dan keyakinan. Yang juga harus diketahui, bahwa dalam manhaj Ahlus Sunnah wal Jama‘ah, ada perbedaan penting antara takfir mutlak dan takfir individu (mu‘ayyan).
- Takfir mutlak: ditujukan pada perkataan atau perbuatan. Misalnya:
- “Siapa yang menghalalkan perkara yang sudah jelas haram, maka ia kafir.”
- “Siapa yang berkata Al-Qur’an makhluk, maka ia kafir.”
- “Siapa yang mengingkari ketinggian Allah, maka ia kafir.”
Pernyataan seperti ini jika diucapkan atau dinyatakan, sama sekali tidak merta memvonis kafir orang/individu yang melakukannya, karena yang dikafirkan hanya perbuatan atau perkataannya!
- Takfir individu: ditujukan untuk menjatuhkan vonis kafir kepada person atau individu tertentu. Tapi vonis ini tidak bisa dijatuhkan begitu saja, kecuali setelah syarat-syaratnya terpenuhi dan penghalang-penghalangnya hilang. Sebab tidak semua orang yang terjatuh pada kekufuran otomatis dihukumi kafir sampai tegaknya hujjah dan hilangnya syubhat.
Penerapan hukum kafir terhadap individu tertentu tidak boleh dilakukan secara sembarangan; karena tidak setiap orang yang jatuh pada perbuatan kufur langsung bisa divonis kafir, sampai hujjah (dalil yang jelas) ditegakkan kepadanya dan syubhat (kerancuan) hilang darinya.
Penjelasan Ulama tentang Takfir
Imam Ibn Taimiyah menjelaskan:
إنَّ القَولَ قد يكونُ كُفرًا فيُطلَقُ القَولُ بتكفيرِ صاحِبِه، ويقالُ: من قال كذا فهو كافِرٌ، لكِنَّ الشَّخصَ المُعَيَّنَ الذي قاله لا يُحكَمُ بكُفرِه حتى تقومَ عليه الحُجَّةُ التي يَكفُرُ تاركُها.
“Suatu perkataan bisa jadi adalah kekufuran, sehingga dinyatakan secara general pengkafiran pelakunya dan dinyatakan bahwa: ‘siapa yang mengatakan ini, maka ia kafir’. Tetapi orang tertentu yang mengucapkannya tidak otomatis dihukumi kafir, kecuali setelah hujjah ditegakkan kepadanya yang jika ia meninggalkannya barulah ia kafir.” (Lih: Majmu’ al-Fatawa 23/345)
Beliau juga berkata:
ليس لأحَدٍ أن يُكَفِّرَ أحدًا من المُسلِمين، وإن أخطأ وغَلِط، حتى تقامَ عليه الحُجَّةُ، وتُبَيَّنُ له المحجَّةُ، ومن ثبت إسلامُه بيقينٍ لم يَزُلْ ذلك عنه بالشَّكِّ، بل لا يزولُ إلَّا بعد إقامةِ الحُجَّةِ، وإزالةِ الشُّبهةِ
“Tidak boleh bagi siapa pun mengkafirkan seorang Muslim, meskipun ia melakukan kesalahan atau kekeliruan, sampai hujjah ditegakkan kepadanya dan jalan kebenaran dijelaskan kepadanya. Barang siapa telah tetap Islamnya dengan yakin, maka (predikat muslim) tidak bisa hilang darinya hanya dengan keraguan. (Predikat muslim itu) baru hilang setelah adanya hujjah dan hilangnya syubhat.” (Lih: Majmu’ al-Fatawa 12/466)
Beliau menegaskan kembali:
كنتُ أُبَيِّنُ لهم أنَّ ما نُقِلَ لهم عن السَّلَفِ والأئِمَّةِ مِن إطلاقِ القَولِ بتكفيرِ من يقولُ كذا وكذا، فهو أيضًا حَقٌّ، لكِن يجِبُ التفريقُ بين الإطلاقِ والتعيينِ، وهذه أوَّلُ مسألةٍ تنازعت فيها الأمَّةُ من مسائِلِ الأُصولِ الكِبارِ، وهي مسألةُ الوعيدِ
“Saya telah menjelaskan kepada mereka bahwa apa yang dinukil dari perkataan para salaf dan para ulama yang menyebut ‘barang siapa mengatakan begini, maka ia kafir’ adalah benar. Tetapi harus dibedakan antara takfir mutlak (umum) dan takfir mu‘ayyan (individu tertentu). Ini adalah salah satu masalah besar yang pertama kali diperdebatkan umat dalam persoalan ushul, yaitu masalah ancaman (al-wa‘id).” (Lih: Majmu’ al-Fatawa 3/320)
Dalam kesempatan lain, Ibn Taimiyah menambahkan:
الأقوالُ التي يَكفُرُ قائِلُها قد يكونُ الرَّجُلُ لم تبلُغه النُّصوصُ المُوجِبةُ لمعرفةِ الحَقِّ، وقد تكونُ عنده، ولم تَثبُتْ عِندَه، أو لم يتمَكَّنْ مِن فَهمِها، وقد يكونُ قد عَرَضَت له شُبُهاتٌ يَعذِرُه اللهُ بها، فمن كان من المُؤمِنين مجتهدًا في طَلَبِ الحَقِّ وأخطأ، فإنَّ اللهَ يَغفِرُ له خطاياه كائنًا ما كان، سواءٌ كان في المسائِلِ النظَرِيَّةِ أو العَمَليَّةِ، هذا الذي عليه أصحابُ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، وجماهيرُ أئمَّةِ الإسلامِ
“Perkataan-perkataan yang dikafirkan orang yang mengucapkannya: bisa jadi belum sampai kepadanya dalil yang memberinya pemahaman tentang kebenaran; atau ia tahu dalil itu, namun dalil itu menurutnya tidak shahih; atau dalil itu sampai tapi belum ia pahami, atau ia terhalangi oleh syubhat yang Allah bisa saja memaafkannya.
Karena itu, seorang mukmin yang sungguh-sungguh mencari kebenaran lalu keliru, maka Allah akan mengampuni kesalahannya, baik dalam masalah akidah maupun amal. Inilah pendapat para sahabat Nabi ﷺ dan jumhur ulama Islam.” (Lih: Majmu’ al-Fatawa 23/346-349)
Mengenai kaum yang mudah mengkafirkan, beliau berkata:
كلَّما رأوهم قالوا: من قال كذا فهو كافرٌ، اعتقد المستَمِعُ أنَّ هذا اللَّفظَ شامِلٌ لكلِّ من قاله، ولم يتدبَّروا أنَّ التكفيرَ له شروطٌ وموانِعُ قد تنتفي في حَقِّ المعَيَّنِ، وأنَّ تكفيرَ المطلَقِ لا يستلزِمُ تكفيرَ المعَيَّن، إلَّا إذا وُجِدت الشُّروطُ وانتفت الموانعُ
“Mereka sering berkata: siapa yang mengatakan begini, ia kafir. Lalu orang yang mendengar mengira bahwa hukum itu berlaku secara mutlak pada setiap orang. Padahal takfir memiliki syarat dan penghalang yang membuatnya tidak berlaku pada person tertentu. Maka takfir mutlak tidak otomatis berlaku pada individu tertentu, kecuali setelah syarat-syaratnya terpenuhi dan penghalangnya hilang.” (Lih: Majmu’ al-Fatawa 12/487)
Pendapat Imam Muhammad bin Abdul Wahhab
Imam Muhammad bin Abdul Wahhab juga menegaskan:
مسألةُ تكفيرِ المُعَيَّنِ مسألةٌ معروفةٌ، إذا قال قولًا يكونُ القَولُ به كُفرًا، فيقال: من قال بهذا القَولِ فهو كافِرٌ، لكِنَّ الشَّخصَ المُعَيَّنَ إذا قال ذلك لا يُحكَمُ بكُفرِه حتى تقومَ عليه الحُجَّةُ التي يَكفُرُ تارِكُها
“Masalah takfir terhadap individu tertentu adalah masalah yang populer. Jika ada perkataan yang pada dasarnya merupakan kekufuran, maka dinyatakan: ‘Siapa yang berkata begini, maka ia kafir’. Namun, individu yang mengucapkannya tidak otomatis kafir sampai hujjah ditegakkan kepadanya yang jika ia menolaknya, barulah ia kafir.” (Lih: al-Durar al-Saniyyah 10/432)
Kesimpulan
Dari penjelasan ini tampak jelas bahwa terdapat dua kelompok yang keliru:
- Kelompok yang berlebihan dalam takfir: mereka mengkafirkan secara mutlak tanpa memperhatikan syarat dan penghalang.
- Kelompok yang menolak takfir individu secara mutlak: hingga menutup pintu hukum riddah (kemurtadan) pada orang yang memang telah murtad.
Adapun jalan yang benar adalah jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah, yaitu jalan pertengahan yang adil: tidak mudah mengkafirkan, namun juga tidak menutup pintu hukum kafir bila syarat dan ketentuannya telah terpenuhi.
Kesalahan Kedua: Menyamakan Asy‘ariyyah dengan Jahmiyyah
Sebagian orang yang kurang ilmu, atau yang masih rancu pemahamannya, menyangka bahwa para ulama salaf mengkafirkan Jahmiyah hanya karena mereka menolak sifat uluw (kemahatinggian Allah). Maka mereka pun mengkafirkan setiap orang yang tidak menetapkan sifat ketinggian Allah, lalu menganggapnya sebagai Jahmiyah.
Ada pula yang menyangka bahwa salaf mengkafirkan Jahmiyah karena mereka menolak sifat-sifat Allah. Sebagian lain membatasi takfir hanya pada keyakinan Jahmiyah bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.
Padahal, Jahmiyah murni yang dikafirkan oleh para ulama salaf terdahulu adalah golongan yang keyakinannya berujung pada penolakan terhadap keberadaan Tuhan yang benar. Mereka menghapus seluruh nama dan sifat Allah, tidak menetapkan satu pun darinya: tidak mengakui Allah sebagai Pencipta, Maha Pengasih, Maha Mengetahui, dan lainnya. Mereka juga berkeyakinan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, menolak bahwa Allah dapat dilihat di hari kiamat, serta meyakini paham jabariyah murni (manusia tidak punya kehendak sama sekali, bagaikan bulu yang diterbangkan angin).
Lalu muncul sebagian orang yang mengatakan: “Asy’ariyah adalah Jahmiyah, karena mereka menolak bahwa Allah berada di atas langit.”
Perbedaan Asy’ariyah dengan Jahmiyah
Benar, bahwa siapa pun yang menolak sifat uluw Allah (bahwa Allah di atas langit) memiliki kemiripan dengan Jahmiyah. Bahkan Ibn Taimiyah sering menyebut bahwa dalam pemikiran mereka terdapat “cabang dari paham Jahmiyah atau Mu’tazilah” atau “jenis dari tasyabbuh Jahmiyah”.
Namun, Asy’ariyah berbeda dengan Jahmiyah murni.
- Mereka tetap menetapkan nama-nama Allah, bahkan menulis banyak kitab tentang hal itu.
- Mereka mengakui sebagian sifat Allah, meskipun menakwilkan sebagian lainnya.
- Mereka tidak menolak seluruh sifat sebagaimana dilakukan Jahmiyah.
Bahkan, Ibn Taimiyah sendiri ketika membahas golongan-golongan dalam masalah sifat, membaginya menjadi tiga tingkatan:
- Qaramithah dan Batiniyah.
- Jahmiyah murni.
- Asy’ariyah.
Kemudian beliau menegaskan: “Dalam masalah sifat, Asy’ariyah bukanlah Jahmiyah murni, hanya ada semacam cabang dari pemikiran Jahmiyah.” (Lih: Majmu’ al-Fatawa 6/55)
Sikap Imam Ahmad dan Ulama Salaf
Penting dipahami, ulama salaf tidak serta-merta mengkafirkan setiap orang yang berkata seperti Jahmiyah, apalagi mengkafirkan individu-individu mereka secara mutlak. Imam Ahmad rahimahullah sendiri-sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah-tidak mengkafirkan seluruh tokoh Jahmiyah, bahkan tetap shalat di belakang mereka, mendoakan mereka, dan memandang mereka sebagai bagian dari kaum muslimin meski sesat dalam keyakinan.
Imam Ahmad menegaskan bahwa kesalahan Jahmiyah berangkat dari takwil yang salah dan taqlid kepada tokoh, bukan karena niat mendustakan Rasulullah ﷺ. Oleh karena itu beliau tetap beristighfar untuk mereka dan melarang pengkafiran individu. (Lih: Majmu’ al-Fatawa 7/507, al-Masa’il al-Mardiniyyah hal. 158).
Kalau kepada Jahmiyah saja Imam Ahmad tidak mengkafirkan secara mutlak, bagaimana mungkin kepada ulama besar seperti Imam an-Nawawi dan Ibn Hajar, yang dikenal ahli syariah, bukan ahli kalam, hanya saja terpengaruh sebagian takwil yang berkembang pada zamannya?
Ibn Taimiyah dan Jahmiyah di Zamannya
Ibn Taimiyah juga menegaskan bahwa meskipun perkataan Jahmiyah adalah kekufuran, tetapi orang-orang yang terjebak padanya tidak otomatis kafir karena kebodohan dan syubhat yang menimpa mereka. Bahkan, beliau mengatakan kepada para ulama dan tokoh pemuka Jahmiyah:
أنا لو وافقتُكم كنتُ كافرًا؛ لأني أعلَمُ أنَّ قَولَكم كفرٌ، وأنتم عندي لا تَكفُرون؛ لأنَّكم جُهَّالٌ
“Seandainya aku mengikuti kalian, maka aku kafir, karena aku tahu bahwa pendapat kalian adalah kufur. Namun kalian tidak aku kafirkan karena kalian hanyalah orang-orang bodoh yang terjebak syubhat.” (Lih: al-Rad ‘ala al-Bakri 2/492)
Asy’ariyah Tidak Sama dengan Jahmiyah
Lebih jauh, Asy’ariyah adalah salah satu kelompok yang paling banyak menolak pemikiran Jahmiyah dan Mu’tazilah. Mereka menulis banyak bantahan terhadapnya, bahkan menganggap Jahmiyah sebagai ahli bid‘ah dan kesesatan, disejajarkan dengan Rafidhah, Khawarij, dan kelompok menyimpang lainnya.
Para ulama Asy’ariyah seperti:
- Abdul Qahir al-Baghdadi memasukkan Jahmiyah ke dalam golongan ahli hawa nafsu. (Lih: Ushul al-Iman hal. 10)
- Ibn Furak menyebut Jahmiyah sebagai ahli bid‘ah. (Lih. Musykil al-Hadits wa Bayanuhu hal. 38)
- Ibn Asakir menyebut banyaknya pengikut bid‘ah seperti Jahmiyah dan Mu’tazilah. (Lih. Tabyin Kadzib al-Muftary hal. 358)
- Ibn al-‘Arabi juga menganggap Jahmiyah sebagai golongan bid‘ah bersama Mu’tazilah dan Khawarij. (Lih. Qanun al-Takwil hal. 357)
Dengan bukti ini, jelas keliru dan berbahaya jika Asy’ariyah disamakan dengan Jahmiyah murni yang dikafirkan oleh salaf.
✅ Kesimpulan
- Tidak benar bahwa salaf mengkafirkan semua Jahmiyah secara mutlak, apalagi individu mereka.
- Asy’ariyah berbeda jauh dengan Jahmiyah murni, bahkan banyak membantah mereka.
- Pengkafiran individu tidak dilakukan ulama besar seperti Imam Ahmad dan Ibn Taimiyah, meski mereka menyebut bahwa perkataan Jahmiyah adalah kufur.
- Menyamakan Asy’ariyah dengan Jahmiyah adalah bentuk ghuluw (berlebihan) yang berbahaya, menyalahi manhaj ulama salaf.
Kesalahan Ketiga: Mengkafirkan Ulama Asy’ariyah Secara Personal
Setelah kelompok ghulât (ekstremis) ini selesai mengkafirkan kaum Jahmiyah, lalu mengaitkannya pula dengan Asy’ariyah, mereka semakin tergelincir dengan berani mengkafirkan para ulama Asy’ariyah secara personal. Terkadang dengan pernyataan tegas, terkadang dengan sindiran dan isyarat. Mereka tidak membedakan antara takwil (penafsiran) yang dilakukan Asy’ariyah dengan pengingkaran mutlak ala Jahmiyah. Padahal, ini bukanlah sikap para ulama yang benar-benar mendalam ilmunya. Sebab, para ulama yang kokoh ilmunya hanya menilai salah para ahli takwil, namun tetap memberikan udzur (alasan pemaaf) kepada mereka, dan tidak memperlakukan mereka seperti orang yang benar-benar mengingkari atau menolak sifat-sifat Allah.
Sikap Ibnu Taimiyah tentang Ahli Takwil
Ibnu Taimiyah berkata:
المُتأوِّلُ الذي قَصْدُه متابعةُ الرَّسولِ لا يُكفَّرُ، بل ولا يُفَسَّقُ إذا اجتهد فأخطَأ، وهذا مشهورٌ عِندَ النَّاسِ في المسائِلِ العَمَليَّةِ، وأمَّا مسائِلُ العقائِدِ فكثيرٌ من النَّاسِ كفَّر المُخطِئينَ فيها، وهذا القَولُ لا يُعرَفُ عن أحَدٍ من الصَّحابةِ والتَّابعينَ لهم بإحسانٍ، ولا عن أحَدٍ من أئمَّةِ المُسلِمينَ، وإنَّما هو في الأصلِ من أقوالِ أهلِ البِدَعِ، الذين يبتَدِعون بدعةً ويُكَفِّرون من خالَفهم، كالخوارجِ والمُعتَزِلةِ والجَهميَّةِ
“Seorang yang melakukan takwil yang tujuannya mengikuti Rasulullah ﷺ tidak dikafirkan, bahkan tidak juga difasikkan, selama ia berijtihad tapi salah. Hal ini sudah masyhur di kalangan manusia dalam perkara-perkara fikih amaliyah. Adapun dalam masalah akidah, sebagian orang justru mengkafirkan orang yang salah di dalamnya. Padahal, hal ini tidak pernah dinukil dari para sahabat, tabi’in, maupun para imam kaum muslimin. Justru itu adalah cara berpikir ahli bid’ah, seperti Khawarij, Mu’tazilah, dan Jahmiyah: mereka membuat bid’ah lalu mengkafirkan orang yang menyelisihinya.” (Lih. Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah 5/239-241)
Beliau juga menegaskan:
إنِّي مِن أعظَمِ النَّاسِ نَهيًا عَن أن يُنسَبَ مُعَيَّنٌ إلى تَكفيرٍ وتَفسيقٍ ومَعصيةٍ، إلَّا إذا عُلِمَ أنَّه قد قامَت عليه الحُجَّةُ الرِّساليَّةُ التي مَن خالَفَها كانَ كافِرًا تارةً، وفاسِقًا أُخرى، وعاصيًا أُخرى، وإنِّي أُقَرِّرُ أنَّ اللَّهَ قد غَفَرَ لهذه الأُمَّةِ خَطَأَها، وذلك يَعُمُّ الخَطَأَ في المَسائِلِ الخَبَريَّةِ القَوليَّةِ والمَسائِلِ العَمَليَّةِ
“Aku termasuk orang yang paling keras melarang untuk menjatuhkan vonis kafir, fasik, atau maksiat kepada seseorang secara personal, kecuali bila telah tegak hujjah risalah atas dirinya; Hujjah yang jika ditolak, maka bisa jadi menyebabkan ia menjadi kafir, atau fasik, atau hanya sebagai pelaku maksiat. Dan aku menegaskan bahwa Allah telah mengampuni kesalahan umat ini, baik dalam masalah keyakinan maupun masalah amal.” (Lih. Majmu’ al-Fatawa 3/229)
Lalu Ibnu Taimiyah memperingatkan:
ولَو كُفِّرَ هؤلاء لَزِمَ تَكفيرُ كَثيرٍ مِنَ الشَّافِعيَّةِ، والمالِكيَّةِ، والحَنَفيَّةِ، والحَنبَليَّةِ، والأشعَريَّةِ، وأهلِ الحَديثِ، والتَّفسيرِ، والصُّوفيَّةِ: الذينَ لَيسوا كُفَّارًا باتِّفاقِ المُسلِمينَ
“Seandainya mereka (para ulama) yang keliru dalam takwil itu dihukumi kafir, niscaya konsekuensinya adalah mengkafirkan mayoritas Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyah, Hanabilah, Asy’ariyah, ahli hadis, ahli tafsir, dan kaum sufi. Padahal, mereka semua tidaklah kafir menurut kesepakatan kaum muslimin.” (Lih. Majmu’ al-Fatawa 35/101)
Orang yang Keliru karena Takwil Bisa Diberi Udzur
Siapa saja yang tidak mengetahui sebagian sifat Allah atau menafsirkannya dengan takwil, sementara ia termasuk ahli ijtihad yang bersungguh-sungguh mengikuti Rasulullah ﷺ, maka dia diberi udzur. Selama ia tidak bersikap sombong, menolak, atau sengaja mengingkari, maka ia tidak dihukumi kafir.
Ibnu Taimiyah mencontohkan dengan hadis orang yang berkata:
إذا أنا مُتُّ فأحرِقوني ثُمَّ اسحَقوني، ثُمَّ ذَرُّوني في اليَمِّ، فواللَّهِ لَئِن قدَرَ اللَّهُ عليَّ لَيُعَذِّبَنِّي عَذابًا ما عَذَّبَه أحَدًا مِنَ العالَمينَ
“Jika aku mati, bakarlah jasadku lalu hancurkan, lalu tebarkan di laut. Demi Allah, jika Allah kuasa atasku, Dia pasti akan menyiksaku dengan siksaan yang belum pernah ditimpakan kepada siapa pun.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Menurut Ibnu Taimiyah, orang ini ragu akan kekuasaan Allah untuk membangkitkan kembali setelah tubuhnya dihancurkan, dan keraguan itu adalah kufur menurut kesepakatan ulama. Namun, karena ia jahil (tidak tahu) dan pada saat yang sama ia beriman kepada Allah serta takut akan azab-Nya, maka Allah mengampuninya. Lalu Ibnu Taimiyah menyimpulkan:
والمُتَأوِّلُ مِن أهلِ الِاجتِهادِ الحَريصُ على مُتابَعةِ الرَّسولِ أَولى بالمَغفِرةِ مِن مِثلِ هذا
“(Jika orang yang jahil itu saja diampuni), maka seorang ahli ijtihad yang salah dalam takwil dan berusaha mengikuti Rasulullah ﷺ tentu lebih berhak untuk diampuni.” (Lih. Majmu’ al-Fatawa 3/231)
Peringatan Agar Tidak Mengikuti Kesalahan Para Ulama
Ibnu Taimiyah juga menegaskan:
ليس لأحَدٍ أن يَتَّبِعَ زَلَّاتِ العُلَماءِ، كَما ليس له أن يَتَكَلَّمَ في أهلِ العِلمِ والإيمانِ إلَّا بما هُم له أهلٌ؛ فإنَّ اللَّهَ تَعالى عَفا للمُؤمِنينَ عَمَّا أخطَؤوا، كما قال تَعالى: (رَبَّنا لا تُؤاخِذْنا إن نَسِينا أو أخطَأنا) قال اللَّه: قد فعَلتُ
“Tidak boleh seseorang mengikuti kesalahan (zallah) para ulama, dan tidak boleh pula berbicara tentang ulama kecuali sesuai dengan kedudukan mereka. Allah telah memaafkan orang-orang beriman atas kesalahan mereka, sebagaimana firman-Nya: ‘Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami bila kami lupa atau kami salah.’ Allah menjawab: ‘Aku telah mengabulkannya.’” (Lih. Majmu’ al-Fatawa 32/239)
Pandangan Para Ulama tentang Kesalahan Ulama Besar
- Adz-Dzahabi berkata:
لَو أنَّا كُلَّما أخطَأ إمامٌ في اجتِهادِه في آحادِ المَسائِلِ خَطَأً مَغفورًا لَه، قُمنا عليه وبَدَّعناه وهَجَرناه، لَما سَلِمَ مَعَنا لا ابنُ نَصرٍ، ولا ابنُ مَنْدَه، ولا مَن هو أكبَرُ مِنهُما، واللَّهُ هو هادي الخَلقِ إلى الحَقِّ، وهو أرحَمُ الرَّاحِمينَ، فنَعوذُ باللَّهِ مِنَ الهَوى والفَظاظةِ
“Seandainya setiap kali seorang imam salah dalam ijtihadnya lalu kita cela, kita sesatkan, dan kita tinggalkan, maka tidak akan ada seorang pun yang selamat. Padahal, Allah-lah yang memberi petunjuk, dan kita berlindung dari hawa nafsu dan kekerasan hati.” (Lih. Siyar A’lam al-Nubala’ 14/40)
- Ia juga mencontohkan ulama besar seperti Ibnu Khuzaymah yang menakwil sebagian hadis sifat. Adz-Dzahabi berkata:
فليُعذَرْ مَن تَأوَّلَ بَعضَ الصِّفاتِ،…ولَو أنَّ كُلَّ مَن أخطَأ في اجتِهادِه -مَعَ صِحَّةِ إيمانِه، وتَوخِّيه لاتِّباعِ الحَقِّ- أهدَرناه وبَدَّعناه، لَقَلَّ مَن يَسلَمُ مِنَ الأئِمَّةِ مَعَنا
“Maka hendaklah diudzur orang yang menakwil sebagian sifat. Seandainya setiap kesalahan ijtihad dijadikan alasan untuk menyesatkan dan menghancurkan kedudukan ulama, niscaya tidak ada imam yang selamat dari celaan kita.” (Lih. Siyar A’lam al-Nubala’ 14/374-376)
- Ibnul Qayyim menjelaskan:
قد تكونُ منه الهَفوةُ والزَّلَّةُ هو فيها مَعذورٌ، بل ومأجورٌ لاجتهادِه؛ فلا يجوزُ أن يُتَّبَعَ فيها،
ولا يجوزُ أن تُهدَرَ مَكانَتُه وإمامَتُه ومَنزِلَتُه في قُلوبِ المُسلِمينَ
“(Seorang tokoh besar dalam Islam) bisa saja melakukan kesalahan atau tergelincir, tetapi ia diberi udzur untuk itu, bahkan tetap bisa mendapatkan pahala untuk ijtihadnya. Meskipun kesalahannya tidak boleh diikuti, namun kedudukan, keilmuan dan kehormatannya tidak boleh dihapus dari hati kaum muslimin.” (Lih. A’lam al-Muwaqqi’in 5/235)
- Ia juga menambahkan kaidah penting:
مِن قَواعِدِ الشَّرعِ والحِكمةِ أيضًا أنَّ مَن كَثُرَت حَسَناتُه وعَظُمَت، وكانَ له في الإسلامِ تَأثيرٌ ظاهِرٌ، فإنَّه يُحتَمَلُ له ما لا يُحتَمَلُ لغَيرِه، ويُعفى عنه ما لا يُعفى عَن غَيرِه؛ فإنَّ المَعصيةَ خَبَثٌ، والماءُ إذا بَلَغَ قُلَّتَينِ لَم يَحمِلِ الخَبَثَ
“Salah satu kaidah Syara’ dan hikmah juga adalah bahwa siapa yang kebaikannya sangat banyak dan besar, dan ia juga memiliki pengaruh yang jelas dalam Islam, maka ia diberi peluang berbeda dengan yang lainnya, ia diberi maaf yang tidak diberikan kepada yang lainnya. Karena jika dosa adalah najis, dan jika air (baca: jasa dan kebaikan) sudah mencapai dua qullah (baca: cukup banyak), maka ia tidak lagi mengandung najis.” (Lih: Miftah Dar al-Sa’adah 1/176)
- Ibnu Rajab al-Hanbali berkata:
يَأبى اللَّهُ العِصمةَ لكِتابٍ غَيرِ كِتابِه، والمُنصِفُ مِنِ اغتَفَرَ قَليلَ خَطَأِ المَرءِ في كَثيرِ صَوابِه
“Allah menolak kesempurnaan (terbebas dari salah) bagi setiap kitab kecuali kitab-Nya. Orang yang adil adalah yang memaafkan sedikit kesalahan orang lain di saat kebenarannya lebih banyak.” (Lih: Taqrir al-Qawa’id wa Tahrir al-Fawa’id 1/56)
- As-Sa’di menjelaskan bahwa: “Ahlus Sunnah wal Jama’ah berlaku adil terhadap semua ahli bid’ah. Mereka tidak mengkafirkan kecuali yang jelas-jelas dikafirkan Allah dan Rasul-Nya. Adapun orang yang masih beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mengagungkan syariat, tetapi keliru dalam takwil, maka ia tidak dihukumi kafir. Bisa jadi ia hanya fasik, atau sekadar salah, atau bahkan dimaafkan karena ketidaktahuannya.” (Lih: Taudhih al-Kafiyah al-Syafiyah hal. 244-246)
Kesimpulan: Jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Inilah manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka membedakan antara kesalahan karena takwil dengan pengingkaran secara sengaja. Berbeda halnya dengan kelompok-kelompok lain yang berlebihan dalam mengkafirkan, karena mereka menganggap pendapat mereka sebagai “prinsip mutlak” yang tidak boleh diselisihi sedikit pun.
Kesalahan Keempat: Fanatisme pada Pendapat Sendiri dan Berani Menyelisihi Ulama Besar
Setelah kelompok ini bersikap mengafirkan para ulama Asy’ariyah dengan alasan bahwa mereka adalah Jahmiyah atau bahkan lebih sesat dari Jahmiyah, mereka tidak puas hanya sampai di situ. Mereka justru terjatuh pada kesalahan keempat yang tak kalah berbahaya dari kesalahan-kesalahan sebelumnya. Kesalahan ini menyingkap betapa dalam kerusakan metodologi yang mereka anut.
Kesalahan itu adalah mendahulukan pemahaman mereka yang dangkal di atas perkataan para ulama rabbani yang kokoh ilmunya.
Inilah akar penyimpangan dan penyempurna kesesatan mereka, yaitu berani melakukan takfir terhadap ulama Asy’ariyah secara personal. Padahal hal itu tidak pernah dilakukan Imam Ahmad terhadap Jahmiyah sendiri, apalagi terhadap Asy’ariyah. Begitu juga Ibn Taimiyah, meskipun ia sangat paham tentang mazhab Asy’ariyah dan penyimpangan-penyimpangan mereka, bahkan ia sendiri pernah disakiti dan dipenjara oleh sebagian Asy’ariyah, tetapi beliau tidak pernah mengafirkan mereka.
Maka, menyelisihi para ulama besar Ahlus Sunnah wal Jamaah ini tidak bisa dijelaskan kecuali karena mereka beranggapan bahwa diri mereka lebih peduli terhadap aqidah Salaf daripada para imamnya, atau mereka merasa lebih tahu tentang Asy’ariyah daripada para ulama rabbani yang telah berinteraksi langsung, berdiskusi, bahkan menelaah karya-karya Asy’ariyah secara mendalam.
Untuk membuat pembaca sadar betapa fatalnya metode ini, penulis kemudian mengumpulkan sejumlah pujian para ulama besar Ahlus Sunnah wal Jamaah terhadap Asy’ariyah dan ulama-ulamanya. Tentu saja, pujian ini tidak berarti menyetujui semua kesalahan mereka. Tetapi hal ini menunjukkan betapa keliru jika sebuah kelompok dengan enteng mengkafirkan begitu banyak ulama besar umat Islam hanya karena perbedaan dalam sebagian masalah aqidah.
Peringatan Ibn Taimiyah
Ibn Taimiyah berkata:
فإنَّ تَسليطَ الجُهَّالِ على تَكفيرِ عُلماءِ المُسلمينَ مِن أعظَمِ المُنكَراتِ، وإنَّما أصلُ هذا مِنَ الخَوارجِ وَالرَّوافِضِ الذينَ يُكَفِّرونَ أئمَّةَ المُسلمينَ؛ لِما يَعتَقِدونَ أنَّهم أخطَؤوا فيه مِنَ الدِّينِ. وقد اتَّفَقَ أهلُ السُّنَّةِ والجَماعَةِ على أنَّ عُلماءَ المُسلمينَ لا يَجوزُ تَكفيرُهم بِمُجرَّدِ الخَطَأِ المحضِ، بَل كُلُّ أحَدٍ يُؤخَذُ مِن قَولِه ويُترَكُ إلَّا رَسولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عليه وسَلَّم. وليس كُلُّ مَن يُترَكُ بَعضُ كَلامِهِ لخَطَأٍ أخطَأه يُكَفَّرُ ولا يُفَسَّقُ، بل وَلا يَأثَمُ
“Sesungguhnya menjadikan orang-orang bodoh berani mengafirkan ulama kaum muslimin termasuk kemungkaran terbesar. Hal ini adalah warisan dari kaum Khawarij dan Rafidhah, yang terbiasa mengafirkan para imam kaum muslimin hanya karena mereka menganggap para imam tersebut salah dalam sebagian urusan agama. Padahal, Ahlus Sunnah wal Jamaah telah sepakat bahwa ulama kaum muslimin tidak boleh dikafirkan hanya karena kesalahan semata. Karena semua orang bisa benar dan bisa salah, perkataannya bisa diterima atau ditolak, kecuali Rasulullah ﷺ. Tidak setiap orang yang salah lalu dibuang semua perkataannya, apalagi sampai divonis kafir, fasik, atau berdosa.” (Lih: Majmu’ al-Fatawa 35/100)
Nama-nama Ulama Besar yang Menilai Asy’ariyah dengan Adil
Untuk memperkuat argumen, penulis menghadirkan daftar para imam dari dua madrasah besar: Taimiyah dan Wahhabiyah, yang dikenal sangat tegas menjaga aqidah dan membela tauhid. Namun, meski keras dalam membantah lawan, mereka tetap objektif dan adil dalam menilai.
Mereka adalah:
- Ibn Taimiyah
- Ibn Abdil Hadi
- Adz-Dzahabi
- Ibnul Qayyim
- Ibn Katsir
- Ibn Rajab
- Hammad bin Nashir bin Mu’ammar
- Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab
- Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh
- Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh
- Ibn Baz
- Ibn Utsaimin
- Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts wal Ifta’
Jika para ulama besar ini saja yang paling menguasai aqidah Salaf tidak sampai mengkafirkan Asy’ariyah, maka jelaslah bahwa orang-orang yang berani melakukannya pada zaman ini tidak lain hanyalah orang-orang yang terlalu membesar-besarkan diri padahal ilmunya kecil, bagaikan seekor semut yang mengira dirinya lebih besar daripada gajah.
Pertama: Pujian dan Sikap Para Ulama terhadap Asy’ariyah Secara Umum:
- Ibn Taimiyah:
Beliau menegaskan bahwa dalam perkataan Asy’ariyah terdapat banyak dalil yang benar dan sesuai sunnah, bahkan lebih dekat kepada Ahlus Sunnah wal Jamaah dibandingkan dengan kelompok-kelompok lain seperti Mu’tazilah atau Rafidhah. (Lih: Bayan Talbis al-Jahmiyyah 3/538)
Beliau juga mengatakan:
- Asy’ariyah lebih dekat kepada sunnah dan kebenaran daripada Jahmiyah, para filsuf, dan Mu’tazilah. (Lih: Dar’u al-Ta’arudh 6/292)
- Tidak ada seorang pun dari mereka kecuali memiliki jasa besar dalam Islam, termasuk dalam membantah kelompok zindik, ahli bid’ah, dan dalam membela Ahlus Sunnah. (Lih: Dar’u al-Ta’arudh 2/101-103)
- Fatwa Lajnah Daimah Saudi Arabia:
Dalam fatwanya, Lajnah Daimah menyebutkan bahwa Asy’ariyah adalah pengikut Abu Hasan Al-Asy’ari dan mereka adalah kelompok yang paling dekat dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah dibandingkan kelompok lainnya. Mereka dipuji dalam hal yang sesuai dengan sunnah, dan dikritik dalam hal yang menyelisihi Sunnah. (Lih: Fatawa al-Lajnah al-Da’imah 2/410-411)
Mereka menegaskan ((Lih: Fatawa al-Lajnah al-Da’imah 3/330):
- Asy’ariyah bukan kelompok yang kafir.
- Kesalahan mereka ada pada takwil sebagian sifat Allah.
- Syekh Ibn Baz:
Ibn Baz rahimahullah menegaskan bahwa Asy’ariyah secara umum masih termasuk Ahlus Sunnah, meskipun tidak dalam masalah takwil sifat. Mereka bukanlah kafir. Bahkan di antara mereka terdapat para imam dan ulama besar yang banyak jasanya untuk Islam. (Lih: Majmu’ Fatawa Ibn Baz 28/256)
Ketika ditanya tentang tuduhan bahwa salafi mengkafirkan ulama Asy’ariyah seperti Imam An-Nawawi atau Ibn Hajar, beliau menjawab bahwa: “Tidak ada ulama salafi yang mengkafirkan mereka. Yang ada hanyalah menjelaskan kesalahan mereka dalam takwil sifat, bukan mengkafirkan. Itu pun dilakukan sebagai bentuk nasihat dan penjelasan, bukan untuk memecah belah umat.” (Lih: Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah 3/72)
- Ulama Hanabilah dan Salahuddin Al-Ayyubi
Salah satu bukti bahwa Asy’ariyah tetap dipandang bagian dari Ahlus Sunnah adalah kenyataan bahwa ulama-ulama Hanabilah dari keluarga Bani Qudamah ikut berjihad bersama Sultan Salahuddin Al-Ayyubi – yang dikenal sebagai seorang Asy’ari – bahkan menghadiri pembebasan Baitul Maqdis. (Lih: al-Bidayah wa al-Nihayah 17/20-21)
Ibn Taimiyah sendiri menyebut Salahuddin al-Ayyubi sebagai raja Ahlus Sunnah, meskipun beliau tahu betul bahwa Salahuddin seorang Asy’ari. (Lih: Majmu’ al-Fatawa 3/281)
Kedua: Pujian Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah kepada Para Ulama Asy’ariyah
Para ulama Asy’ariyah jumlahnya sangat banyak dalam berbagai bidang ilmu. Namun yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah tokoh-tokoh besar mereka yang menonjol dalam ilmu hadis, fiqih, dan ilmu-ilmu syariat lainnya. Pada kesempatan ini, pembahasan akan dibatasi hanya pada enam ulama karena keterbatasan ruang, yaitu: al-Baihaqi, Ibn Shalah, al-‘Izz bin Abd al-Salam, an-Nawawi, Ibn Daqiq al-‘Id, dan Ibn Hajar al-‘Asqalani.
- Pujian Ulama terhadap al-Hafizh Abu Bakar Ahmad bin Husain al-Baihaqi (w. 458 H)
- Ibn Taimiyah berkata:
الحافِظُ أبو بَكرٍ البَيهَقيُّ وأمثالُه أقرَبُ إلى السُّنَّةِ مِن كَثيرٍ مِن أصحابِ الأشعَريِّ المُتَأخِّرينَ
“Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi dan ulama semisalnya lebih dekat kepada Sunnah dibanding banyak pengikut al-Asy’ari yang datang belakangan.” (Lih: Syarh al-‘Aqidah al-Ashfahaniyyah hal. 127)
Beliau juga menegaskan:
والبَيهَقيُّ أعلَمُ أصحابِ الشَّافِعيِّ بالحَديثِ وأنصَرُهم للشَّافِعيِّ
“Al-Baihaqi adalah orang yang paling alim dalam hadis di antara Syafi’iyah dan paling gigih dalam membela mazhab Imam Syafi’i.” (Lih: Majmu’ al-Fatawa 32/240)
- Ibn Abd al-Hadi menulis:
“Al-Baihaqi adalah imam, hafizh, ulama besar, syekhnya wilayah Khurasan. Ia menulis kitab-kitab yang belum pernah ada sebelumnya, seperti as-Sunan al-Kubra dan as-Sunan as-Sughra.” (Lih: Thabaqat ‘Ulama al-Hadits 3/329)
- Adz-Dzahabi dalam biografinya menyebutkan:
“Ia adalah hafizh, ulama besar, ahli fiqih, syekh al-Islam. Allah memberkahi ilmunya. Ia menulis karya-karya yang sangat bermanfaat. Ia mengasingkan diri di desanya untuk fokus mengumpulkan dan menyusun ilmu. Seandainya ia mau membuat mazhab sendiri, ia mampu melakukannya karena luasnya ilmu dan penguasaannya terhadap perbedaan pendapat. Karena itu, kita sering mendapati ia membela suatu masalah berdasarkan hadis sahih.” (Lih: Siyar A’lam al-Nubala’ 18/163-168)
Ia juga menambahkan:
“Al-Baihaqi adalah orang pertama yang mengumpulkan perkataan Imam Syafi’i dan menguatkannya dengan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah.” (Lih: Tarikh al-Islam 10/95)
- Ibn Katsir berkata:
“Ia termasuk salah satu hafizh (ulama hadits) besar dengan karya-karya yang sangat terkenal, tersebar ke berbagai negeri dan daerah.” (Lih: al-Bidayah wa al-Nihayah 9/16)
- Pujian Ulama terhadap Abu Amr Utsman bin Abd al-Rahman Ibn al-Shalah (w. 643 H)
- Ibn Taimiyah sering mengutip pendapatnya dan menyebutnya dengan penuh penghormatan: as-Syaikh Abu Amr Ibn al-Shalah. (Lih: Syarh al-‘Aqidah al-Ashfahaniyyah hal. 184, Naqd al-Manthiq hal.94, Bayan Talbis al-Jahmiyyah 8/487)
- Ibn Abd al-Hadi berkata:
“Ibn al-Shalah adalah imam, hafizh, syekh Islam, Taqiyyuddin.” (Lih: Thabaqat ‘Ulama al-Hadits 4/214)
- Adz-Dzahabi menulis dalam biografinya:
“Imam, hafizh, ulama besar, syekh Islam, Taqiyyuddin. Beliau mengajar, memberi fatwa, menulis, dan melahirkan banyak murid. Ia termasuk imam besar, memiliki wibawa, kharisma, kefasihan, serta ilmu yang luas dan bermanfaat.” (Lih. Siyar A’lam al-Nubala’ 23/140-143)
- Ibn Katsir menulis:
“Imam besar, mufti Islam, Taqiyyuddin Abu Amr. Beliau membenci filsafat dan logika, mencela keduanya, serta melarang pembacaan buku-buku filsafat di negerinya. Bahkan para penguasa mendukung sikapnya ini.” (Lih: Thabaqat al-Syafi’iyyin hal. 857-858)
- Ibn Rajab al-Hanbali berkata: “Al-Hafizh Taqiyyuddin Ibn Shalah.” (Lih: Dzail Thabaqat al-Hanabilah 2/319)
- Ulama sesudahnya seperti Muhammad bin Ibrahim Al-Syaikh (Mufti Saudi Arabia) juga menyebutnya dengan gelar al-Allamah Ibn al-Shalah. (Lih: al-Durar al-Saniyyah 15/104)
- Pujian Ulama terhadap al-‘Izz bin Abd al-Salam (w. 660 H)
- Ibn Taimiyah menukil kisah bahwa al-Imam al-‘Izz bin Abd al-Salam menyebut Ibn Arabi (pengusung Aqidah WIhdatul Wujud) sebagai “syekh yang buruk, pendusta, dan tercela.” (Lih. Majmu’ al-Fatawa 2/244)
Beliau juga menukil beberapa fatwa al-‘Izz dalam kitabnya. (Lih. Majmu’ al-Fatawa 1/347)
- Adz-Dzahabi menyebutnya sebagai:
“Syekh Islam, sisa dari para imam besar. Beliau mengajar, berfatwa, menulis, dan mencapai derajat ijtihad. Beliau seorang imam, ahli ibadah, zuhud, pemberani, selalu amar ma’ruf nahi munkar, dan tidak takut celaan siapa pun.” (Lih. Tarikh al-Islam 14/933-935)
- Ibn Katsir berkata:
“Imam besar, ulama besar, satu-satunya di zamannya. Ia menguasai tafsir, hadis, fiqih, bahasa Arab, ushul, perbedaan mazhab, dan pendapat ulama hingga mencapai derajat ijtihad.” (Lih. Thabaqat al-Syafi’iyyin hal. 873-875)
- Ibn Rajab al-Hanbaly menegaskan:
“Beliau adalah syekhnya para ulama, bersama Ibn Shalah dan tokoh lainnya. Bahkan disebut sebagai Syekhul Syafi’iyah.” (Lih. Dzail Thabaqat al-Hanabilah 4/69, 2/192)
- Ulama setelahnya seperti Hamad bin Nashir dan Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab (keduanya ulama Saudi) menyebutnya dengan gelar “al-Faqih” (ahli fiqih besar). (Lih. Majmu’ah al-Rasa’il wa al-Masa’il al-Najdiyyah 4/623, 10/262)
- Pujian Ulama terhadap Imam an-Nawawi (w. 676 H)
- Ibn Taimiyah menyebutnya dengan gelar “Imam an-Nawawi rahimahullah” dalam banyak tempat. (Lih. Majmu’ al-Fatawa 8/382, al-Iman al-Awsath hal. 581)
- Ibn Abd al-Hadi memujinya dan berkata:
“Imam, faqih, hafizh, panutan, ahli zuhud.” (Lih. Thabaqat ‘Ulama al-Hadits 4/254)
- Adz-Dzahabi menulis tentangnya:
“Mufti umat, syekh Islam, hafizh, faqih bermadzhab syafi’I dan zuhud. Allah memberi manfaat besar kepada umat lewat karya-karyanya, yang menyebar luas ke seluruh negeri.” (Lih. Tarikh al-Islam 15/324-332)
- Ibn Katsir menggambarkan:
“Ulama besar, syekh mazhab, pemimpin fuqaha di zamannya. Ia terkenal sangat zuhud, wara’, tekun, dan berani menasihati raja maupun rakyat.” (Lih. al-Bidayah wa al-Nihayah 17/540-541)
- Ibn Rajab menyebutkan bahwa kitab Arba’in an-Nawawiyah yang disusunnya sangat diberkahi, hingga populer, banyak dihafal, dan mendatangkan manfaat besar. (Lih. Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam 1/56)
- Ulama belakangan pun menyanjungnya:
- Syekh Ibn Baz menyatakan bahwa Kitab Riyadhus Shalihin karya Nawawi termasuk kitab terbaik dan bermanfaat bagi umat. (Lih. Majmu’ Fatawa Ibn Baz 17/151)
- Syekh Ibn Utsaimin menyatakan bahwa: Imam al-Nawawi adalah ulama besar, ikhlas, dan mujtahid. Meski ia menakwil sifat Allah, hal itu dianggap ijtihad yang salah tapi termaafkan. Jasanya dalam ilmu sangat besar, dan kesalahannya tertutup oleh amal baiknya. (Lih. Syarh al-Arba’in al-Nawawiyyah hal. 3-4)
- Pujian Ulama terhadap Abu al-Fath Ibn Daqiq al-‘Id (w. 702 H)
- Ibn Taimiyah menyebutnya sebagai:
“Syekh Imam Qadhi al-Qudhat (qadhi para qadhi) Taqiyyuddin Ibn Daqiq al-‘Id.” (Lih. Jami’ al-Masa’il 9/72)
- Ibn Abd al-Hadi menyebut beliau sebagai:
“Imam, faqih, hafizh, ulama besar, Taqiyyuddin.” (Lih. Thabaqat ‘Ulama al-Hadits 4/265)
- Adz-Dzahabi berkata:
“Ibn Daqiq al-‘Id adalah imam, faqih, mujtahid, muhaddits, hafizh, syekh Islam, cerdas, luas ilmunya, banyak buku, tekun belajar, wara’, berwibawa. Jarang ada ulama sebanding dengannya.” (Lih. Tadzkirah al-Huffazh 4/265)
- Ibn Katsir menegaskan bahwa beliau adalah: “Ulama besar, hafizh, ahli hadis dengan karya-karya yang unik dan bermanfaat. Kepemimpinan ilmu pada zamannya berakhir padanya, dan ia mengungguli rekan-rekannya.” (Lih. al-Bidayah wa al-Nihayah 18/29-31)
- Pujian Ulama terhadap al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H)
- Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab menulis bahwa umat memahami hadis melalui syarah para ulama besar, di antaranya Ibn Hajar al-‘Asqalani. (Lih. al-Durar al-Saniyyah 1/288)
- Abdurrahman bin Hasan Al-Syaikh mengutip fatwa Ibn Hajar dalam Fath al-Bari sebagai landasan dalam pembahasan hukum penggunaan kain yang bercampur dengan sutra, lalu menyebutnya sebagai “Hafizh dunia di masanya…” (Lih. al-Durar al-Saniyyah 4/251)
- Lajnah Daimah Saudi Arabia mengatakan bahwa:
“Imam Nawawi, Ibn Hajar, dan semisal mereka yang menakwil sifat Allah, tetaplah ulama besar yang Allah beri manfaat besar bagi umat Islam. Semoga Allah merahmati mereka.” (Lih. Fatawa al-Lajnah al-Da’imah 2/410-411)
- Syekh Ibn Baz ditanya tentang kitab-kitab Nawawi dan Ibn Hajar. Beliau menjawab:
“Benar, mereka salah dalam masalah sifat, tetapi mereka tetap Ahlus Sunnah dalam masalah lain. Mereka adalah ulama yang banyak berjasa dan memiliki keutamaan.” (Lih. Majmu’ Fatawa Ibn Baz 28/47)
Karena itu, doa rahmat untuk para ulama Asy’ariyah banyak sekali disebut dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tetap dihitung sebagai Muslim dan bagian dari Ahlus Sunnah wal Jamaah, meski punya kekeliruan dalam beberapa masalah akidah.
Maka, sungguh mengherankan bila ada orang yang mengaku sebagai pengikut salaf namun menolak pendapat para ulama besar ini, meremehkan mereka, dan hanya mengandalkan akalnya sendiri yang terbatas.
Pentingnya Bersikap Adil dalam Menilai Ulama
Sebelum mengakhiri pembahasan ini, penting untuk diingat bahwa sikap ghuluw (berlebihan) tidak hanya terjadi pada satu kelompok saja. Sebagaimana terdapat orang-orang yang mengaku sebagai pengikut Ahlus Sunnah wal Jamaah lalu berlebihan hingga mengkafirkan kaum Asy’ariyah, demikian pula di kalangan Asy’ariyah (yang jumlahnya lebih banyak) ada pula yang berlebihan hingga mengkafirkan Ahlus Sunnah wal Itsbat (para ulama yang menetapkan sifat-sifat Allah), dan menuduh mereka sebagai mujassimah (menyerupakan Allah dengan makhluk). Bahkan, sebagian di antara mereka sampai berani mengkafirkan tokoh-tokoh besar Ahlus Sunnah, termasuk Syaikhul Islam Ibn Taimiyah yang divonis kafir oleh puluhan ulama dari kalangan mereka.
Namun, sebagaimana ada ulama Ahlus Sunnah yang bersikap adil, demikian pula dalam barisan Asy’ariyah terdapat tokoh-tokoh yang menempuh jalan adil dan penuh keinsafan.
Sebagai bentuk keadilan, mari kita lihat bagaimana tiga tokoh besar Asy’ariyah yang masyhur justru memuji Ibn Taimiyah, sosok yang dikenal sebagai lawan keras mereka.
- Pujian Ibn Daqiq al-‘Id:
Ibn Daqiq al-‘Id berkata tentang Ibn Taimiyah:
لَمَّا اجتَمَعتُ بابنِ تيميَّةَ رَأيتُ رَجُلًا العُلومُ كُلُّها بَينَ عَينَيه يَأخُذُ مِنها ما يُريدُ ويَدَعُ ما يُريدُ
“Ketika aku bertemu dengan Ibn Taimiyah, aku melihat seolah-olah semua ilmu ada di hadapannya; ia mengambil darinya apa yang ia kehendaki dan meninggalkan apa yang ia kehendaki.” (Lih. al-Radd al-Wafir hal. 60)
Bahkan beliau pernah berkata kepadanya:
ما كُنتُ أظُنُّ أنَّ اللَّهَ تَعالى بَقيَ يَخلُقُ مِثلَكَ
“Aku tidak pernah menyangka Allah masih menciptakan orang seperti engkau.” (Lih. al-Radd al-Wafir hal. 60)
- Pujian Ibn Hajar al-‘Asqalani:
Al-Hafizh Ibn Hajar berkata:
وشُهرةُ إمامةِ الشَّيخِ تَقيِّ الدِّينِ ابنِ تيميَّةَ أشهَرُ مِنَ الشَّمسِ، وتَلقيبُه بشَيخِ الإسلامِ باقٍ إلى الآنَ على الألسِنةِ الزَّكيَّةِ، ويَستَمِرُّ غَدًا لما كانَ بالأمسِ، ولا يُنكِرُ ذلك إلَّا مَن جَهِلَ مِقدارَه وتَجَنَّبَ الإنصافَ
“Ketenaran keulamaan Syaikh Taqiyuddin Ibn Taimiyah lebih masyhur dari matahari. Gelarnya sebagai Syaikhul Islam masih disebut hingga kini di lisan-lisan yang bersih, terus berlangsung esok sebagaimana hari kemarin. Tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang tidak mengenal kedudukannya atau menolak untuk bersikap adil.” (Lih. Taqrizh li Ibn Hajar ‘ala al-Radd al-Wafir hal. 12)
Ibnu Hajar juga mengingatkan bahwa:
- Pemakaman Ibn Taimiyah adalah yang paling besar dalam sejarah Islam. Ribuan orang menghadirinya tanpa ada perintah penguasa, murni karena keyakinan akan keilmuan dan keberkahannya.
- Ibn Hajar mengingkari keras orang-orang Asy’ariyah yang berani mengkafirkan Ibn Taimiyah. Menurutnya, kesalahan beliau tidaklah lahir dari hawa nafsu atau kedengkian, tetapi hasil ijtihad yang terkadang benar dan terkadang salah.
- Bahkan, karya-karya Ibn Taimiyah penuh dengan bantahan terhadap paham tajsim, hulul, ittihad, rafidhah, dan berbagai bid’ah lainnya.
Ibn Hajar menegaskan:
“Jika ada yang tetap mengkafirkan Ibn Taimiyah atau menganggap orang yang menyebutnya Syaikhul Islam sebagai kafir, maka orang seperti itu tidak boleh didengar dan wajib dicegah sampai kembali kepada kebenaran.”
(Lih. Taqrizh li Ibn Hajar ‘ala al-Radd al-Wafir hal. 12-15)
- Pujian Jalaluddin as-Suyuthi
Imam as-Suyuthi dalam kitab Thabaqat al-Huffazh menyebut Ibn Taimiyah sebagai:
الإمامُ العَلَّامةُ الحافِظُ النَّاقِدُ الفَقيهُ المُجتَهِدُ المُفَسِّرُ البارِعُ شَيخُ الإسلامِ، عَلَمُ الزُّهَّادِ، نادِرةُ العَصرِ: تَقيُّ الدِّينِ أبو العَبَّاسِ أحمَدُ بنُ المُفتي شِهابِ الدِّينِ عَبدِ الحَليمِ ابنِ الإمامِ المُجتَهِدِ شَيخِ الإسلامِ مَجدِ الدِّينِ عَبدِ السَّلامِ … وكانَ مِن بُحورِ العِلمِ، ومِنَ الأذكياءِ المَعدودينَ، والزُّهَّادِ والأفرادِ، ألَّفَ ثَلاثَمِائةِ مُجَلَّدةٍ، وامتُحِنَ وأوذيَ مِرارًا
“Seorang imam, ulama besar, hafizh, kritikus tajam, faqih, mujtahid, mufassir ulung, Syaikhul Islam, teladan para zuhhad, keajaiban zaman: Taqiyuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin Mufti Syihab al-Din ‘Abd al-Halim bin al-Imam al-Mujtahid Syaikh al-Islam Majd al-Din ‘Abd al-Salam…Beliau adalah salah satu lautan ilmu, termasuk orang cerdas yang diperhitungkan dan orang yang zuhud. Ia menulis lebih dari tiga ratus jilid karya, diuji dan disakiti berkali-kali…” (Lih. Thabaqat al-Huffazh hal. 520-521)
Kesimpulan: Jalan Tengah dalam Menilai Ulama
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa jalan kebenaran menuntut keadilan dan keseimbangan:
- Kita tidak boleh mengingkari jasa besar kaum Asy’ariyah dalam bidang ilmu dan dakwah. Mereka telah memberi kontribusi yang sangat berharga bagi Islam.
- Namun, kita juga tidak boleh menutup mata terhadap kesalahan mereka, terutama dalam masalah akidah dan sifat-sifat Allah.
- Sikap terbaik adalah mengikuti jalan salaf, yaitu menilai dengan adil tanpa mencela berlebihan, memuji tanpa ghuluw, menjaga kehormatan ulama, sekaligus mendoakan mereka dengan rahmat dan ampunan.
Keadilan adalah posisi tengah antara dua sikap ekstrem:
- Menghancurkan Asy’ariyah sepenuhnya dengan menafikan segala jasa mereka, membid’ahkan semua ulama mereka, bahkan sampai mengkafirkan.
- Mengagungkan Asy’ariyah secara berlebihan, menganggap madzhab mereka sebagai satu-satunya kebenaran, dan menyamakan mereka dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Benarlah ungkapan:
العَدلُ أساسُ الإنصافِ، والإنصافُ قَرينُ العِلمِ، ومَن لَم يُنصِفْ لَم يَعدِلْ، ومَن لَم يَعدِلْ لَم يُصِبِ الحَقَّ
“Keadilan adalah dasar dari sikap inshaf (pertengahan/objektif), dan dan sikap inshaf adalah pendamping setia ilmu. Siapa yang tidak bersikap adil, maka ia tidak akan mencapai kebenaran.”
Kita memohon kepada Allah agar memperbaiki niat kita, menganugerahkan ilmu yang bermanfaat, lisan yang lurus, serta kemampuan mengikuti sunnah Nabi ﷺ dengan sebaik-baiknya. Semoga kita dapat meneladani para imam petunjuk, dengan bimbingan Allah Yang Maha Kuasa.
Sumber:
Habib ‘Alawi bin ‘Abd al-Qadir al-Saqqaf, ‘Ulama al-Asya’irah Baina Jinayah al-Ghulat wa Wajib al-Inshaf, https://dorar.net/article/2126/
Disiapkan oleh: Dr. Muhammad Ihsan Zainuddin