- 1. Pendahuluan
- 2. Sejarah Munculnya Maulid Nabi
- 3. Klaim Salah Tentang Siapa yang Pertama Kali Mengadakan Maulid
- 4. Benarkah 12 Rabi’ul Awwal Adalah Hari Lahir Nabi?
- 5. Masuknya Berbagai Kemungkaran dalam Perayaan Maulid
- 6. Syubhat (Alasan) Para Pendukung Maulid dan Jawabannya
- 6.1 Syubhat Pertama: Dalil Al-Qur’an
- 6.2 Syubhat Kedua: Hadis Puasa Senin
- 6.3 Syubhat Ketiga: Dalil Hari Jumat
- 6.4 Syubhat Keempat: “Maulid Hanya Berisi Shalawat dan Pujian”
- 6.5 Syubhat Kelima: Kisah budak wanita yang bernazar menabuh rebana:
- 6.6 Syubhat Keenam: Hadis tentang Nabi ﷺ yang mengaqiqahi untuk dirinya sendiri:
- 6.7 Syubhat Ketujuh: Kisah Abu Lahab yang diringankan adzabnya karena gembira dengan kelahiran Nabi ﷺ :
- 6.8 Syubhat Kedelapan: Klaim adanya bid’ah hasanah:
- 6.9 Syubhat Kesembilan: Perayaan Maulid Itu Sunnah Hasanah:
- 6.10 Syubhat Kesepuluh: Klaim sebagian orang bahwa ada sahabat Nabi yang melakukan bid‘ah hasanah (bid‘ah yang baik):
- 6.11 Syubhat Kesebelas: Perayaan Maulid Sama Saja dengan Konferensi atau Seminar untuk Menghormati Seorang Ulama:
- 6.12 Syubhat Keduabelas: “Mayoritas ulama membolehkan perayaan maulid, dan yang mengharamkannya hanyalah kalangan keras dari pengikut Ibn Taimiyah”
- 7. Penutup
Pendahuluan
Setiap bulan Rabi’ul Awwal, sebagian kaum Muslimin di berbagai negara merayakan Maulid Nabi Muhammad ﷺ. Mereka menganggapnya sebagai bentuk cinta kepada Rasulullah dan sarana mengingat sirah beliau. Namun, apakah perayaan Maulid Nabi memiliki dasar dalam Al-Qur’an dan Sunnah? Bagaimana sejarah awal munculnya Maulid Nabi?
Artikel ini akan membahas sejarah Maulid Nabi, dalil yang digunakan pendukungnya, pandangan para ulama, serta hukum perayaan Maulid Nabi dalam pandangan Islam.
Sejarah Munculnya Maulid Nabi
Perlu diketahui bahwa salah satu perkara yang diada-adakan manusia pada abad-abad belakangan, setelah berlalunya tiga abad pertama yang terbaik dalam Islam, adalah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad ﷺ (Maulid Nabi).
Pada masa para sahabat, tabi’in, dan generasi sesudahnya, tidak ada seorang pun yang merayakan Maulid Nabi ﷺ. Tidak para sahabat yang mulia, tidak pula para ulama dan imam yang menjadi panutan, seperti Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, dan selain mereka.
Perayaan Maulid baru muncul pada akhir abad ke-4 Hijriyah. Pertama kali yang mengadakannya adalah kelompok Rafidhah Ubaidiyyun (yang kelak dikenal dengan sebutan “Fatimiyun” secara keliru). Mereka mengadakan perayaan Maulid berbarengan dengan berbagai ritual bid’ah pada hari ‘Asyura, seperti memukul dada, menampar pipi, melukai kepala, dan lain-lain, sebagai bentuk kesedihan atas terbunuhnya Al-Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma.
Fakta sejarah ini ditulis oleh sejarawan terkenal Al-Maqrizi (w. 845 H) dalam kitabnya Al-Khithath (2/436). Ia menyebut bahwa kaum Ubaidiyyun membuat banyak sekali perayaan, termasuk Maulid Nabi, Maulid Ali, Fathimah, Hasan, Husain, dan lainnya. Bahkan jumlahnya mencapai 27 perayaan bid’ah, semuanya punah setelah runtuhnya dinasti Ubaidiyyah pada tahun 567 H oleh Shalahuddin Al-Ayyubi.
Setelah itu, kelompok tasawuf (sufi) kembali menghidupkan perayaan Maulid, sementara Syiah Rafidhah menghidupkan ritual ‘Asyura. Hingga kini, kedua bid’ah tersebut masih ada.
Klaim Salah Tentang Siapa yang Pertama Kali Mengadakan Maulid
Karena terasa berat bagi para penggemar Maulid bahwa perayaan ini ternyata dimulai oleh kelompok Rafidhah, sebagian dari mereka berusaha mengklaim bahwa orang pertama yang mengadakannya adalah Raja Irbil, Al-Malik Al-Muzhaffar Abu Sa’id Kaukabri (w. 630 H). Mereka menisbatkan hal ini kepada sejarawan Ibnu Katsir (w. 774 H) dalam kitab Al-Bidayah wan-Nihayah (13/136-137).
Padahal, ini tidak benar. Teks asli Ibnu Katsir hanya menyebut: “Ia (Raja Irbil) biasa mengadakan perayaan Maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal dan melaksanakannya dengan meriah.” Tapi ini bukan keterangan bahwa dialah yang pertama kali memulai Maulid.
Benarkah 12 Rabi’ul Awwal Adalah Hari Lahir Nabi?
Fakta sejarah kedua yang tak bisa ditolak: tidak ada kepastian bahwa Nabi ﷺ lahir pada 12 Rabi’ul Awwal. Justru yang lebih kuat menurut para ahli sejarah adalah bahwa 12 Rabi’ul Awwal adalah hari wafatnya Nabi ﷺ, bukan hari lahir beliau. Beliau wafat pada hari Senin dan dimakamkan pada hari Selasa.
Masuknya Berbagai Kemungkaran dalam Perayaan Maulid
Perayaan Maulid kemudian menyebar ke berbagai negeri Islam. Sebagian ulama dan penceramah menganggapnya baik karena ada penyebutan sirah Nabi ﷺ di dalamnya. Namun, syetan menipu sebagian orang ini dengan melupakan bahwa para generasi terbaik Islam tidak pernah melakukannya.
Seperti bid’ah pada umumnya, Maulid tidak berhenti pada batas tertentu. Ia berkembang dengan berbagai bentuk kemungkaran:
- tabuhan rebana berlebihan,
- tarian dan joget,
- percampuran laki-laki dan perempuan,
- bahkan syair dan pujian yang berlebihan hingga mengandung syirik, mirip dengan pujian umat Nasrani kepada Isa ‘alaihissalam.
- penghamburan dana dan anggaran yang begitu besar, yang pada sebagian kasus disalahgunakan oleh pihak tertentu yang mengaku keturunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memperkaya diri sendiri.
Syubhat (Alasan) Para Pendukung Maulid dan Jawabannya
Berikut adalah beberapa syubhat (alasan) yang sering dipakai untuk membolehkan Maulid, beserta bantahannya:
Syubhat Pertama: Dalil Al-Qur’an
Mereka berdalil dengan ayat:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا
Artinya:
“Katakanlah (Muhammad): Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.” (QS. Yunus: 58)
Katanya, yang dimaksud dengan “rahmat Allah” adalah kelahiran Nabi ﷺ, maka kita diperintahkan untuk bergembira dengan perayaan Maulid.
Bantahan:
- Tidak ada satu pun mufassir klasik yang menafsirkan ayat ini tentang Maulid.
- Tafsir yang benar: “Rahmat Allah” adalah Al-Qur’an dan syariat Islam, sebagaimana ditunjukkan oleh ayat sebelumnya (Yunus: 57).
- Kalau benar ayat ini tentang Maulid, mengapa Rasulullah ﷺ sendiri tidak pernah merayakannya?
Syubhat Kedua: Hadis Puasa Senin
Nabi ﷺ ditanya tentang puasa Senin, beliau menjawab:
ذاك يومٌ وُلدتُ فيه
“Itulah hari aku dilahirkan.” (HR. Muslim).
Menurut mereka, ini adalah bentuk perayaan terhadap hari kelahiran beliau.
Bantahan:
- Tidak ada satu pun ulama hadits yang menjelaskan dan mensyarah hadits ini seperti yang mereka klaim. Bahkan Imam al-Nawawi rahimhullah-salah seorang pensyarah terbaik terhadap kitab Shahih Muslim-tidak pernah menetapkan hadits ini sebagai dalil perayaan Maulid.
- Hadis ini justru menunjukkan bahwa cara Nabi bersyukur (atas hari kelahirannya) adalah dengan berpuasa, bukan dengan pesta perayaan atau ulang tahun.
- Tidak ada sahabat yang menafsirkan hadis ini dengan mengadakan acara Maulid. Buktinya: tidak ada satu pun sahabat Nabi yang pernah merayakan Maulid Nabi.
Syubhat Ketiga: Dalil Hari Jumat
Hadis tentang keutamaan hari Jumat karena hari itu Adam ‘alaihissalam diciptakan, yang berbunyi:
مِن أفْضلِ أيَّامِكم يومُ الجُمُعة؛ فيه خُلِقَ آدَمُ، وفيه قُبِضَ، وفيه النَّفخةُ وفيه الصَّعقةُ، فأكثِروا عليَّ من الصَّلاةِ فيه…
Artinya:
“Di antara hari terbaik kalian adalah hari Jum’at, di dalamnya Adam diciptakan dan dicabut (ruhnya), dan di dalamnya juga (akan) terjadi tiupan sangkakala dan hari kebangkitan. Maka perbanyaklah shalawat untukku di hari itu…” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan yang lainnya)
Menurut mereka: jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kita bershalawat pada hari kelahiran Adam ‘alaihissalam, maka bershalawat untuk Rasulullah di hari kelahirannya tentu jauh lebih pantas dilakukan!
Dalam hal ini, mereka mengklaim bahwa perayaan Maulid itu berkumpul untuk bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bantahan:
- Dengan klaim ini, tanpa disadari mereka telah mengoreksi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak pernah menegaskan perintah atau anjuran untuk merayakan Maulid beliau dengan berkumpul untuk shalawat.
- Kalau ini jadi alasan, maka para sahabat tentu akan mengkhususkan hari lahir Nabi ﷺ dengan memperbanyak shalawat, doa atau acara, padahal faktanya tidak.
- Tidak ada ulama yang mengatakan adanya keutamaan khusus bershalawat di hari Senin sebagai hari kelahiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Keutamaan hari Jumat bukan hanya karena penciptaan Adam, tetapi juga karena kiamat akan terjadi pada hari itu.
- Hadits ini sama sekali tidak menunjukkan atau mengisyaratkan adanya perayaan atau berkumpul untuk bershalawat pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syubhat Keempat: “Maulid Hanya Berisi Shalawat dan Pujian”
Mereka berkata: “Maulid hanyalah shalawat dan pujian untuk Nabi ﷺ, kenapa dilarang?”
Bantahan:
- Shalawat tentu diperintahkan, tapi mengkhususkan satu hari tertentu untuk shalawat berjamaah tanpa dalil adalah bid’ah.
- Nabi ﷺ dan para sahabatnya tidak pernah melakukannya sekalipun. Apakah pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak para sahabatnya berkumpul untuk bershalawat kepada beliau di hari Jum’at misalnya? Atau pada hari atau momentum tertentu seperti hari Senin sebagai hari kelahiran beliau?
- Hal penting lainnya adalah bahwa mereka yang mengingkari perayaan Maulid sama sekali tidak mengingkari keutamaan bershalawat pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka bahkan bershalawat kepada beliau di setiap waktu, khususnya di hari Jum’at.
Syubhat Kelima: Kisah budak wanita yang bernazar menabuh rebana:
Pendukung Maulid juga berpegang pada kisah seorang budak wanita yang bernadzar memukul rebana (duff) jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dengan selamat dari salah satu peperangannya, dan dia diizinkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan itu.
Kata mereka: ini adalah sebuah bentuk perayaan dan pernyataan gembira atas kepulangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan selamat, dan disetujui oleh beliau. Maka tentu kegembiraan atas hadirnya beliau di dunia ini jauh lebih penting untuk dirayakan!
Bantahan:
- Argumentasi ini sama sekali tidak relevan. Kisah ini hanya menunjukkan bahwa budak wanita itu hanya menunaikan nadzarnya, bukan merayakan hari keselamatan Rasulullah apalagi Maulid Rasulullah. Karena nadzar memang harus ditunaikan, meski dimakruhkan memulainya.
- Apakah budak wanita itu melakukan hal yang sama di waktu-waktu berikutnya saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dengan selamat? Jawabannya: Tidak.
- Kenapa budak wanita itu tidak bernadzar memukul rebana secara khusus di hari kelahiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?
- Para pendukung perayaan Maulid itu melupakan bahwa sepanjang hayat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabatnya entah berapa kali belaiu melewati hari kelahiran beliau, berkali-kali selamat pulang dari peperangan, tapi tidak pernah ada perayaan khusus untuk itu.
Syubhat Keenam: Hadis tentang Nabi ﷺ yang mengaqiqahi untuk dirinya sendiri:
Hadits yang dimaksud adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqy dalam kitab al-Sunan al-Kubra, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu: bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi dirinya sendiri sebagai bentuk kegembiraan atas kelahiran beliau, meskipun pamannya, Abu Thalib, sudah mengaqiqahi beliau saat lahir.
Menurut mereka: ini adalah dalil bolehnya mengulangi ungkapan kegembiraan berkali-kali.
Bantahan:
- Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi, namun beliau sendiri yang memberi catatan dan mengatakan: “(Ini adalah) hadits yang munkar”. Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ (8/431) bahkan mengatakan: “(Ini hadits yang) batil.” Jadi hadits ini tidak layak untuk jadi pegangan.
- Andaipun hadits ini shahih, hadits ini tidak relevan dengan “perayaan Maulid”, karena ia membahas tentang aqiqah. Apakah itu berarti mereka juga mengaqiqahi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di setiap perayaan Maulid?
Syubhat Ketujuh: Kisah Abu Lahab yang diringankan adzabnya karena gembira dengan kelahiran Nabi ﷺ :
Kata mereka: jika Abu Lahab yang secara tegas dihinakan di dalam al-Qur’an saja bisa diringankan adzabnya karena gembira dengan kelahiran Rasulullah, maka terlebih lagi jika itu dilakukan oleh seorang muslim yang bertauhid?
Bantahan:
- Kegembiraan Abu Lahab pada kelahiran Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan karena ia tahu beliau akan diangkat sebagai Nabi dan Rasul pembawa Tauhid, tapi tidak lebih dari kegembiraan seorang paman atas kelahiran keponakannya.
- Diskusi kita bukan pada “perasaan gembira atas lahirnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam” -karena tidak bisa disebut sebagai muslim jika ia tidak gembira dengan kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salla-. Tapi diskusi kita adalah pada “apakah ungkapan gembira dan bahagia itu harus dirayakan” dengan model perayaan yang ada hari ini?
Syubhat Kedelapan: Klaim adanya bid’ah hasanah:
Sejumlah ulama besar dalam madzhab Syafi’iyyah sudah menegaskan bahwa perayaan Maulid itu bid’ah. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah mengatakan-sebagaimana dinukil oleh al-Suyuthi dalam al-Hawi li al-Fatawa 1/229):
أصلُ عمَلِ المولدِ بِدعةٌ لم تُنقَلْ عن أحدٍ مِن السَّلفِ الصالِح من القُرونِ الثلاثةِ
“Asal pengamalan Maulid itu adalah bid’ah, tidak pernah dinukil (contohnya) dari seorang pun di kalangan al-Salaf al-Shalih dari tiga generasi (awal Islam).”
Pada akhirnya, para pendukung perayaan Maulid akan sepakat bahwa perayaan Maulid itu adalah sebuah bid’ah; sesuatu yang tidak pernah ada contoh dan pengamalannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat.
Di saat itulah, ketika dalil dan argumentasi syar’i untuk melegalkan perayaan Maulid sudah “habis”, mereka akan mengeluarkan senjata terakhir yaitu senjata “bid’ah hasanah”!
Bantahan:
- Para ulama muhaqqiqun sepakat bahwa dalam Islam tidak ada istilah bid‘ah hasanah (bid‘ah yang baik) dan bid‘ah dhalalah (bid‘ah yang sesat). Karena semua bid‘ah adalah sesat, sebagaimana ditegaskan secara jelas dalam hadis sahih dari Rasulullah ﷺ:
كلُّ بِدعةٍ ضلالةٌ
“Setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi)
- Banyak ulama menolak keras pembagian bid‘ah menjadi hasanah dan sayyi’ah, diantaranya:
Pertama, Imam Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam (w. 224 H), salah seorang ulama besar abad ke-3 Hijriah. Ibn Baththal menukil dalam Syarh Shahih al-Bukhari (8/588) ucapan beliau:
البِدعُ والأهواءُ كلُّها نوعٌ واحدٌ في الضلال
“Bid‘ah dan hawa nafsu itu semuanya satu jenis, yaitu kesesatan.”
Kedua, Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Syathibi (w. 790 H), ulama ushul dari kalangan Malikiyah. Dalam Fatawa-nya (hal. 180) ia berkata:
إنَّ قولَ النبيِّ صلَّى الله عليه وسلَّم: (كلُّ بِدعةٍ ضلالةٌ) مَحمولٌ عند العُلماءِ على عُمومِه، لا يُستثنَى منه شيءٌ البتَّةَ، وليس فيها ما هو حَسَنٌ أصلًا
“Sabda Nabi ﷺ: ‘Setiap bid‘ah itu sesat’ dipahami oleh para ulama dengan makna umum, tanpa pengecualian sedikit pun. Tidak ada satu pun yang dikecualikan, dan tidak ada satupun bid‘ah yang dianggap baik.”
Dalam kitab al-I‘tisam (1/246) beliau juga menegaskan:
هذا التقسيمُ أمرٌ مُخترَعٌ، لا يدلُّ عليه دليلٌ شرعيٌّ
“Pembagian bid‘ah menjadi hasanah dan sayyi’ah itu hanyalah perkara yang diada-adakan. Tidak ada dalil syar’i yang mendukungnya.”
Pendapat ini sejalan dengan ucapan Imam Malik bin Anas (w. 179 H), pendiri madzhab Maliki, yang terkenal dengan kaidah agungnya:
مَن ابتدَعَ في الإسلامِ بِدعةً يراها حسَنةً، فقد زعَم أنَّ محمدًا خان الرِّسالةَ؛ لأنَّ اللهَ تعالى يقولُ: (الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا)؛ فما لم يكُن يومئذٍ دِينًا، فلا يكونُ اليومَ دِينًا
“Barangsiapa membuat bid‘ah dalam Islam dan menganggapnya baik, maka seakan-akan ia menuduh Muhammad ﷺ berkhianat dalam menyampaikan risalah. Sebab Allah Ta‘ala telah berfirman:
‘Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian, Aku cukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku ridhai Islam sebagai agama kalian.’ (QS. al-Maidah: 3).
Maka sesuatu yang pada hari itu (zaman Nabi ﷺ) bukan bagian dari agama, tidak mungkin hari ini menjadi bagian dari agama.” (Diriwayatkan dalam al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya Ibn Hazm (6/58), dan al-I‘tisam karya al-Syathibi (1/62)).
Setelah Imam Malik, datang muridnya Imam al-Syafi‘i (w. 204 H). Imam al-Juwaini (w. 478 H) dalam Nihayat al-Mathlab (18/473) dan Imam al-Ghazali (w. 505 H) dalam al-Mustashfa (1/171) menukil perkataannya:
مَن اسْتَحسَن فقد شَرَعَ
“Barangsiapa menganggap baik sesuatu (tanpa dasar-penj), berarti ia telah membuat syariat baru.”
Dan tidak mungkin seseorang yang memahami bahwa istihsan (menganggap baik suatu amalan tanpa dasar) itu sama dengan membuat syariat baru yang tidak diizinkan Allah, akan mengatakan bahwa ada bid‘ah yang baik (hasanah).
Syubhat Kesembilan: Perayaan Maulid Itu Sunnah Hasanah:
Sebagian orang juga keliru menjadikan hadis riwayat Muslim dari Jarir ra. sebagai dalil, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
مَن سَنَّ في الإسلامِ سُنَّةً حسنَةً فعَمِلَ بها مَن بَعدَه، كان له أجْرُها ومِثلُ أجْرِ مَن عمِلَ بها مِن غيرِ أن يَنتقِصَ مِن أجورِهم شيءٌ
“Barangsiapa mencontohkan dalam Islam suatu sunnah hasanah (teladan baik), lalu diikuti orang setelahnya, maka ia mendapat pahalanya dan pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.”
Kata mereka: “Merayakan Maulid Nabi termasuk sunnah hasanah.”
Bantahan:
- Ini adalah kekeliruan dalam memahami hadits tanpa memperhatikan sabab al-wurud (latar belakang kemunculan)nya. Hadits ini muncul ketika sekelompok orang Badui datang kepada Nabi ﷺ dalam keadaan sangat miskin, memakai pakaian compang-camping dari kulit. Nabi ﷺ pun mendorong para sahabat untuk bersedekah, namun mereka awalnya lambat merespons hingga tampak rasa sedih di wajah beliau. Lalu datang seorang Anshar membawa sepotong emas dan meletakkannya. Orang-orang lain pun mengikuti dengan berbondong-bondong bersedekah hingga wajah Nabi ﷺ tampak gembira. Lalu beliau bersabda:
“Barangsiapa mencontohkan sunnah hasanah (teladan yang baik dalam Islam…”
- Jadi maksud hadis itu jelas: siapa yang menghidupkan kembali sunnah Nabi ﷺ yang sudah mulai ditinggalkan — seperti sedekah — maka ia mendapat pahala orang-orang yang mengikutinya. Ini sebagaimana dalam riwayat Ibn Majah dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani ra.:
مَن أحيا سُنَّةً مِن سُنَّتي قد أُميتتْ بَعدي كان له من الأجرِ مِثلُ مَن عمِلَ بها من غيرِ أنْ يَنقُصَ من أجورِهم شيئًا، ومَن ابتَدعَ بِدعةً لا يَرضاها اللهُ ورسولُه، فإنَّ عليه مِثلَ إثمِ مَن عمِلَ بها من الناسِ، لا يَنقُصُ مِن آثامِ الناسِ شيئًا
“Barangsiapa menghidupkan sunnah dari sunnahku yang telah mati setelahku, maka ia mendapat pahala orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa membuat bid‘ah yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya, maka ia mendapat dosa orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.”
Al-Syathibi memberi komentar:
“Hadis ini menunjukkan bahwa ‘sunnah hasanah’ maksudnya seperti yang dilakukan sahabat tadi, yaitu mengamalkan sesuatu yang memang sudah jelas merupakan sunnah Nabi ﷺ (yakni sedekah), bukan perkara baru seperti perayaan maulid.”
- Lagipula, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengucapkan: “Barangsiapa mencontohkan sunnah hasanah…” beliau jugalah yang juga bersabda:
عليكم بسُنَّتي وسُنَّةِ الخُلفاءِ الراشدينَ المهديِّينَ مِن بَعدي، تمسَّكوا بها وعَضُّوا عليها بالنواجِذ، وإيَّاكم ومُحْدَثاتِ الأمورِ؛ فإنَّ كلَّ مُحْدَثةٍ بِدعةٌ، وكلَّ بِدعةٍ ضَلالةٌ
“Berpeganglah dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ al-Rasyidin setelahku. Gigitlah ia dengan gigi geraham kalian, dan hati-hatilah dari perkara baru dalam agama, karena setiap yang baru adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah sesat.”
Beliau ﷺ juga bersabda:
مَن أحْدَثَ في أمْرِنا هذا ما ليس منه فهو رَدٌّ
“Barangsiapa mengada-adakan sesuatu dalam urusan kami (agama) yang bukan darinya, maka ia tertolak.”
Semua hadis ini sahih, dan sikap yang benar adalah mengamalkannya secara keseluruhan dengan cara mengompromikannya secara tepat, bukan mengambil sebagian lalu menolak sebagian lainnya.
Syubhat Kesepuluh: Klaim sebagian orang bahwa ada sahabat Nabi yang melakukan bid‘ah hasanah (bid‘ah yang baik):
Contoh pertama: didasarkan pada sebuah riwayat dalam Shahih al-Bukhari dari Rifa‘ah bin Rafi‘ al-Zuraqi, ia berkata:
“Suatu hari kami sedang shalat di belakang Nabi ﷺ. Ketika beliau bangkit dari rukuk, beliau mengucapkan: Sami‘allahu liman hamidah (Allah mendengar siapa yang memuji-Nya). Lalu ada seorang laki-laki di belakang beliau menambahkan: Rabbana wa lakal-hamd, hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (Ya Rabb kami, hanya bagi-Mu segala pujian, dengan pujian yang banyak, baik, dan penuh berkah). Seusai shalat, Nabi ﷺ bertanya: ‘Siapa yang mengucapkan kalimat tadi?’ Orang itu menjawab: ‘Saya.’ Nabi ﷺ lalu bersabda: ‘Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berebut untuk menuliskannya lebih dahulu.’”
Kata mereka: Sahabat itu telah membuat bacaan baru (zikir) yang tidak diajarkan langsung oleh Nabi ﷺ, berarti ini contoh bid‘ah hasanah.
Contoh kedua: mereka biasa menjadikan dalil adalah tindakan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. yang mengumpulkan para sahabat untuk shalat tarawih berjamaah dengan satu imam setelah wafatnya Nabi ﷺ.
Kata mereka: “Ini adalah bid‘ah hasanah.”
Bantahan:
- Sahabat Nabi memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki umat setelah mereka, yaitu keberadaan Rasulullah ﷺ di tengah-tengah mereka yang bisa langsung mengoreksi ucapan atau perbuatan mereka. Apa saja yang dilakukan sahabat kemudian disetujui Nabi ﷺ, maka itu berubah status menjadi bagian dari sunnah taqririyah (sunnah berupa persetujuan Nabi), bukan bid‘ah. Para ulama ushul fiqh telah menegaskan hal ini. Jadi, semua riwayat tentang perbuatan sahabat yang kemudian diakui dan dibenarkan oleh Nabi ﷺ, termasuk dalam kategori sunnah, bukan bid‘ah.
- Jika kita perhatikan lebih dalam, peristiwa di masa Umar ini justru lebih lemah untuk dijadikan dalil dibanding riwayat sebelumnya. Mengapa? Karena shalat tarawih berjamaah itu pernah dilakukan langsung oleh Nabi ﷺ Beliau pernah shalat tarawih bersama para sahabat sebagai imam, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah ra. Hanya saja, Nabi ﷺ tidak melanjutkan secara rutin, karena khawatir ibadah itu akan diwajibkan atas umatnya. Maka shalat tarawih berjamaah sempat terhenti di masa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu., hingga kemudian Umar radhiyallahu ‘anhu menghidupkannya kembali ketika sebab kekhawatiran itu telah hilang.
- Jadi, bagaimana mungkin dikatakan bahwa Umar ra. membuat ibadah baru yang tidak ada di zaman Nabi ﷺ? Ini jelas berbeda dengan mengadakan perayaan Maulid yang sama sekali tidak ada tuntunannya di masa Rasulullah ﷺ.
Syubhat Kesebelas: Perayaan Maulid Sama Saja dengan Konferensi atau Seminar untuk Menghormati Seorang Ulama:
Menurut mereka, kalau mengadakan seminar atau konferensi untuk mengkaji dan mengenang jasa seorang ulama dibolehkan, maka mengadakan pertemuan untuk mengingat sirah Nabi ﷺ dan keutamaannya bagi umat tentu lebih pantas dilakukan daripada itu.
Bantahan:
- Patut dicatat kembali, bahwa masalah kita bukan pada berkumpul untuk mengkaji dan membahas Sirah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sang mulia, tapi pada “perayaan Maulid beliau” yang berulang-ulang di waktu tertentu, dengan berbagai ritual yang mengelilinginya.
- Mengadakan seminar atau konferensi untuk memperkenalkan Nabi ﷺ, menjelaskan sirahnya, dan membela beliau, jelas sangat mulia dibanding kegiatan apapun. Namun, tidak bisa disamakan dengan perayaan maulid sama sekali.
Sebab, seminar atau konferensi bukanlah “hari raya” yang diwarnai kegembiraan dan hiburan karena kelahiran beliau ﷺ. Ia tidak lebih dari sebuah sarana pendidikan, dakwah, dan pengenalan tentang sirah Nabi kepada kaum Muslimin maupun non-Muslim. Buktinya: Anda bisa saja tidak menyelenggarakannya. Tapi bagaimana dengan perayaan Maulid: bukankah Anda merasa harus selalu merayakannya? - Konferensi atau seminar tidak terikat dengan waktu tertentu. Tidak benar bila harus dilaksanakan tepat pada hari kelahiran seorang ulama. Misalnya, seorang ulama lahir di bulan Rajab, namun konferensinya bisa saja diadakan di bulan Muharram. Artinya, acara itu tidak ada kaitannya dengan kelahirannya, melainkan disesuaikan dengan waktu yang tepat bagi panitia, peserta, dan tamu undangan.
- Kalau ada yang berkata: “Bukankah perayaan maulid juga bisa diadakan sepanjang tahun, tidak terbatas pada satu hari?” Jawabannya: ini adalah bentuk pengelabuan. Faktanya, para pelaksana maulid sepakat menjadikannya pada tanggal 12 Rabi‘ul Awwal. Meski ada yang melaksanakannya di hari-hari lain sepanjang tahun, itu justru untuk mengulang-ulang bid‘ah tersebut.
Imam Jamaluddin as-Surramari (w. 776 H) pernah menjelaskan hukum perayaan maulid. Setelah memaparkan perbedaan pendapat tentang bulan dan tanggal lahir Nabi ﷺ, beliau berkata:
“Perselisihan ini menunjukkan bahwa para salaf tidak pernah menjadikan hari kelahiran Nabi ﷺ sebagai musim khusus untuk berkumpul, mengadakan jamuan, perayaan, membuat makanan, minuman, dan acara hiburan. Padahal, para salaf adalah manusia yang paling besar rasa hormat, cinta, dan pengagungan mereka kepada Nabi ﷺ, serta paling bersemangat menyebarkan kemuliaannya.
Seandainya hari kelahirannya memang dianggap sebagai musim khusus, tentu mereka akan berusaha keras untuk menjaga dan menetapkannya, sehingga tidak ada perbedaan di antara mereka maupun selain mereka. Mereka pasti akan bersepakat dalam hal itu, sebagaimana kesepakatan mereka tentang dua hari raya, hari-hari tasyriq, hari Arafah, dan hari Asyura. Seandainya maulid memang setara dengannya, niscaya ia juga akan terjaga sebagaimana hari-hari itu terjaga.
Namun, berkumpul untuk membaca Al-Qur’an, menyebarkan mukjizat Nabi ﷺ, menyebutkan akhlak dan adab beliau, mengenalkan hak-hak beliau, menaati perintahnya, menjauhi larangannya, dan mengajarkan sunnahnya—itu semua disunnahkan setiap waktu, bahkan merupakan kewajiban.”
[Lih: al-Maulid al-Kabir lil-Bashir an-Nadzir ﷺ, hlm. 10b, dikutip dari Manhaj al-Imam Jamaluddin as-Surramari fi Taqrir al-‘Aqidah karya Khalid al-Mutlaq, hlm. 72–73]
Syubhat Keduabelas: “Mayoritas ulama membolehkan perayaan maulid, dan yang mengharamkannya hanyalah kalangan keras dari pengikut Ibn Taimiyah”
Jawaban atas syubhat ini ada tiga poin penting:
- Andaipun klaim ini benar, maka kebenaran diukur dengan dalil, bukan dengan jumlah. Ukuran dalam agama adalah hujjah dan dalil, bukan banyaknya orang yang berpendapat.
- Faktanya: Ulama generasi awal tidak pernah membolehkan atau melakukannya.
Sudah disebutkan di awal pembahasan bahwa para ulama muslim generasi pertama, termasuk para imam mazhab yang empat, tidak ada satu pun riwayat yang menunjukkan mereka membolehkan atau mengamalkan perayaan maulid. Maka, bagaimana mungkin bisa dikatakan bahwa mayoritas ulama membolehkannya? - Klaim bahwa hanya pengikut Ibn Taimiyah yang mengharamkannya adalah keliru.
Pernyataan ini tidak benar.
Agar pembahasan tidak terlalu panjang, di sini akan ditampilkan pendapat tiga orang ulama besar yang mengharamkan perayaan maulid, padahal mereka bukan dari kalangan pengikut Ibn Taimiyah:
- Al-‘Allāmah Tajuddin al-Fākihānī al-Mālikī (w. 734 H)
Dalam risalahnya al-Maurid fi ‘Amal al-Maulid (hlm. 20), beliau berkata:
لا أعلمُ لهذا المولِدِ أصلًا في كِتابٍ ولا سُنَّةٍ، ولا يُنقَلُ عَمَلُه عن أحدٍ مِن عُلماءِ الأُمَّة، الذين هُم القُدوةُ في الدِّين، المتمسِّكونَ بآثارِ المتقدِّمين، بلْ هو بِدعةٌ أحْدَثها البَطَّالون… وهذا لم يأذنْ فيه الشرعُ، ولا فعَلَه الصحابةُ ولا التابِعون، ولا العُلماءُ المتديِّنون، فيما عَلِمتُ، وهذا جوابي عنه بين يَدَيِ اللهِ إنْ عنه سُئلتُ، ولا جائزٌ أن يكونَ مُباحًا؛ لأنَّ الابتِداعَ في الدِّين ليس مُباحًا بإجماعِ المسلِمين
“Aku tidak mengetahui adanya dasar bagi perayaan maulid, baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Tidak pula pernah dilakukan oleh seorang pun dari ulama umat ini yang dijadikan teladan dalam agama, yang berpegang teguh pada ajaran para salaf terdahulu. Bahkan perayaan ini hanyalah sebuah bid’ah yang dibuat oleh orang-orang lalai… Syariat tidak pernah mengizinkannya, para sahabat dan tabi’in pun tidak melakukannya, juga tidak dilakukan oleh para ulama yang bertakwa sejauh pengetahuanku. Inilah jawabanku di hadapan Allah bila kelak aku ditanya. Mustahil hal itu dianggap boleh, sebab membuat-buat perkara baru dalam agama bukan sesuatu yang mubah dengan kesepakatan kaum muslimin.”
- Ibnu al-Hāj al-Fāsī al-Mālikī (w. 737 H)
Dalam kitab al-Madkhal (2/312), beliau menegaskan:
فإنْ خلا- أي: عمَلُ المولِد- منه- أي: مِن السَّماعِ- وعمِلَ طعامًا فقط، ونوَى به المولِدَ، ودعَا إليه الإخوانَ, وسَلِم مِن كلِّ ما تقدَّمَ ذِكرُه- أي: مِن المفاسِد- فهو بِدعةٌ بنَفْسِ نِيَّتِه فقط؛ إذ إنَّ ذلك زِيادةٌ في الدِّين ليس من عمَلِ السَّلفِ الماضين، واتِّباعُ السَّلفِ أَوْلَى، بل أوْجَبُ، مِن أن يَزيدَ نِيَّةً مُخالِفةً لِما كانوا عليه؛ لأنَّهم أشدُّ الناس اتِّباعًا لسُنَّة رَسولِ الله صلَّى الله عليه وسلَّم، وتَعظيمًا له ولسُنَّتِه صلَّى الله عليه وسلَّم، ولهُم قدَمُ السَّبقِ في المبادَرةِ إلى ذلك، ولم يُنقَلْ عن أحدٍ منهم أنه نوَى المولِدَ، ونحن لهم تبَعٌ؛ فيَسعُنا ما وَسِعَهم…
“Seandainya perayaan maulid dilakukan tanpa disertai nyanyian (sama‘), hanya sekadar membuat makanan, lalu mengundang orang-orang dengan niat maulid dan selamat dari semua kemungkaran yang disebutkan sebelumnya, maka tetap saja ia bid’ah hanya karena niatnya itu. Sebab hal itu adalah tambahan dalam agama yang tidak pernah dilakukan generasi salaf terdahulu. Mengikuti mereka lebih utama, bahkan wajib, daripada menambah suatu niat yang berbeda dari apa yang mereka lakukan. Mereka adalah orang yang paling kuat mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ, paling besar pengagungannya kepada beliau dan syariatnya, dan mereka lebih dahulu dalam segala kebaikan. Tidak pernah dinukil dari seorang pun di antara mereka bahwa ia berniat khusus maulid. Kita hanyalah pengikut mereka, maka cukuplah bagi kita apa yang mencukupi mereka…”
Beliau juga berkata:
وبعضُهم- أي: المشتغِلون بعمَلِ المولِد- يتورَّع عن هذا- أي: سماعِ الغِناءِ وتوابعِه- بقِراءةِ البخاريِّ وغيرِه؛ عوضًا عن ذلك، هذا وإنْ كانتْ قراءةُ الحديثِ في نفْسِها من أكبرِ القُرَبِ والعباداتِ، وفيها البركةُ العظيمةُ، والخيرُ الكثيرُ، لكنْ إذا فُعِل ذلك بشَرْطِه اللائِقِ به على الوجهِ الشرعيِّ، لا بنِيَّةِ المولِد، ألَا ترَى أنَّ الصلاةَ مِن أعظمِ القُرَبِ إلى اللهِ تعالى، ومع ذلك فلو فعَلَها إنسانٌ في غيرِ الوقتِ المشروعِ لها، لكان مذمومًا مُخالِفًا؛ فإذا كانتِ الصلاةُ بهذه المثابةِ؛ فما بالُك بغيرِها؟!
“Sebagian orang yang merayakan maulid meninggalkan nyanyian dengan menggantinya membaca Shahih al-Bukhari atau kitab-kitab hadis lain. Padahal membaca hadis itu sendiri adalah ibadah yang agung, penuh keberkahan dan pahala besar, tetapi jika dilakukan dengan niat maulid, maka tetap salah. Bukankah shalat merupakan ibadah terbesar? Namun bila dilakukan di luar waktunya yang syar’i, maka ia tercela dan menyelisihi tuntunan. Jika shalat saja begitu, bagaimana dengan selainnya?”
- Al-‘Allāmah al-Uṣūlī Abū Isḥāq al-Syāṭibī al-Mālikī (w. 790 H)
Dalam al-Fatāwā (hlm. 203), beliau menyatakan:
معلومٌ أنَّ إقامةَ المولدِ على الوصفِ المعهودِ بين الناسِ بِدعةٌ مُحدَثةٌ، وكلُّ بِدعةٍ ضلالةٌ
“Sudah maklum bahwa perayaan maulid sebagaimana yang dikenal orang adalah bid’ah yang diada-adakan, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”
Dengan demikian, jelas bahwa bukan hanya pengikut Ibn Taimiyah yang berpendapat maulid adalah bid’ah, melainkan juga banyak ulama besar lain dari kalangan mazhab Mālikī dan selainnya.
Penutup
Mungkin ada yang berkata: “Umat Islam hari ini sedang melewati masa yang sangat genting. Musuh dari berbagai penjuru telah bersekongkol untuk menyerangnya. Maka, umat ini tidak perlu lagi dibebani dengan pembahasan masalah-masalah seperti ini, yang justru memecah belah kaum muslimin dan tidak menyatukan mereka!”
Menjawab hal itu, kami katakan: Benar, umat ini memang sedang menghadapi bahaya besar. Di antaranya: serangan musuh dari segala arah, merebaknya bid‘ah dan syubhat, merajalelanya kemungkaran, serta kecintaan kepada syahwat duniawi. Karena itu, para penyeru kebaikan wajib memberikan nasihat dan peringatan, demi menjaga keselamatan umat serta mempersatukan mereka di atas tauhid dan sunnah.
Sesungguhnya umat Islam yang sedang diuji dan tertimpa cobaan saat ini justru lebih membutuhkan—daripada waktu-waktu sebelumnya—untuk kembali meninjau hubungan mereka dengan Allah, serta menyadari dosa-dosa yang menyebabkan turunnya bencana. Sebab, “tidaklah turun suatu musibah kecuali karena dosa,” dan “tidaklah musibah itu diangkat kecuali dengan taubat.”
Adapun dosa terbesar setelah syirik kepada Allah adalah bid‘ah, karena bid‘ah lebih dicintai Iblis daripada maksiat. Allah senantiasa berfirman dengan kebenaran, dan Dialah yang memberi petunjuk ke jalan yang lurus.
Selain itu, hal lain yang sering menghalangi banyak orang untuk menerima kebenaran—meski sudah sangat jelas setelah dijelaskan dengan dalil naqli maupun aqli—adalah kesulitan mereka melepaskan diri dari kebiasaan yang sudah bertahun-tahun dijalani, serta rasa enggan meninggalkan ajaran leluhur atau mengakui kesalahan mereka.
Karena itu, kita memohon kepada Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Dermawan agar memperlihatkan kebenaran kepada kita dan seluruh kaum muslimin sebagai kebenaran, lalu memberi rezeki kepada kita untuk mengikutinya; serta memperlihatkan kebatilan sebagai kebatilan, lalu memberi rezeki kepada kita untuk menjauhinya.
Dan kita pun berdoa dengan doa Nabi ﷺ:
اللهمَّ ربَّ جَبرائيلَ ومِيكائيلَ وإسرافيلَ، فاطرَ السَّمواتِ والأرضِ، عالِمَ الغيبِ والشهادةِ، أنْتَ تحكُمُ بين عِبادكَ فيما كانوا فيه يَختلفونَ؛ اهدِنا لِمَا اختُلفَ فيه من الحقِّ بإذنك؛ إنّكَ تَهدي من تشاءُ إلى صراطٍ مستقيمٍ
“Ya Allah, Tuhan Jibril, Mikail, dan Israfil, Pencipta langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui yang gaib maupun nyata. Engkaulah yang memutuskan di antara hamba-hamba-Mu dalam perkara yang mereka perselisihkan. Maka tunjukilah kami dengan izin-Mu kepada kebenaran dari apa yang diperselisihkan itu. Sesungguhnya Engkau memberi petunjuk kepada siapa saja yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.”
Sumber: Habib ‘Alawy bin ‘Abd al-Qadir al-Saqqaf, al-Ihtifal bi al-Mawlid al-Nabawy; Syubuhat wa Rudud, https://dorar.net/article/1944/
Disiapkan oleh: Dr. Muhammad Ihsan Zainuddin