- 1. Pendahuluan
- 2. Kisah Utusan Bani al-Muntafiq Menemui Nabi ﷺ
- 3. Sekilas Tampak Bertentangan dengan Riwayat “Tidak Ada Api di Rumah Nabi”
- 4. Bagaimana Mengompromikan Kedua Riwayat Tersebut?
- 5. Nabi ﷺ Mengalami Tiga Fase Kehidupan
- 6. Penjelasan Para Ulama:
- 7. Pelajaran Penting dari Semua Ini:
- 8. Kesimpulan
Pendahuluan
Banyak yang membayangkan kehidupan Rasulullah ﷺ selalu dalam kondisi miskin dan serba kekurangan. Memang benar, ada riwayat yang menyebutkan bahwa berbulan-bulan tungku di rumah beliau tidak menyala karena tidak ada makanan untuk dimasak. Namun, ada juga hadits sahih yang menunjukkan bahwa beliau pernah memiliki persediaan makanan cukup untuk menjamu tamu. Bagaimana kedua fakta ini bisa dikompromikan?
Dalam artikel ini, kita akan membahas kisah utusan Bani al-Muntafiq, penjelasan ulama, dan hikmah besar dari perjalanan hidup Rasulullah ﷺ yang mengalami tiga fase: faqir, cukup, dan kaya.
Kisah Utusan Bani al-Muntafiq Menemui Nabi ﷺ
Dalam Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud, Shahih Ibnu Hibban, dan Mustadrak al-Hakim, diriwayatkan dari Laqith bin Shabirah radhiyallahu ‘anhu:
كُنْتُ وَافِدَ بَنِي الْمُنْتَفِقِ – أَوْ فِي وَفْدِ بَنِي الْمُنْتَفِقِ – إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمْ نُصَادِفْهُ فِي مَنْزِلِهِ، وَصَادَفْنَا عَائِشَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ، قَالَ: فَأَمَرَتْ لَنَا بِخَزِيرَةٍ فَصُنِعَتْ لَنَا، قَالَ: وَأُتِينَا بِقِنَاعٍ – وَالْقِنَاعُ: الطَّبَقُ فِيهِ تَمْرٌ -.
ثُمَّ جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: (هَلْ أَصَبْتُمْ شَيْئًا؟ أَوْ أُمِرَ لَكُمْ بِشَيْءٍ؟)
قَالَ: قُلْنَا: نَعَمْ، يَا رَسُولَ اللَّهِ.
قَالَ: فَبَيْنَا نَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جُلُوسٌ، إِذْ دَفَعَ الرَّاعِي غَنَمَهُ إِلَى الْمُرَاحِ، وَمَعَهُ سَخْلَةٌ تَيْعَرُ، فَقَالَ: (مَا وَلَّدْتَ يَا فُلَانُ؟)
قَالَ: بَهْمَةً.
قَالَ: فَاذْبَحْ لَنَا مَكَانَهَا شَاةً، ثُمَّ قَالَ: (لَا تَحْسِبَنَّ، وَلَمْ يَقُلْ: لَا تَحْسَبَنَّ، أَنَّا مِنْ أَجْلِكَ ذَبَحْنَاهَا، لَنَا غَنَمٌ مِائَةٌ لَا نُرِيدُ أَنْ تَزِيدَ، فَإِذَا وَلَّدَ الرَّاعِي بَهْمَةً، ذَبَحْنَا مَكَانَهَا شَاةً).
Artinya:
“Aku adalah utusan dari Bani al-Muntafiq (atau termasuk dalam rombongan utusan Bani al-Muntafiq) yang datang menemui Rasulullah ﷺ. Ketika kami tiba, beliau tidak ada di rumah. Kami bertemu Aisyah radhiyallahu ‘anha yang lalu memerintahkan dibuatkan khazirah (sup daging) untuk kami. Kami juga diberi qina‘ (nampan berisi kurma).
Tidak lama kemudian Rasulullah ﷺ datang dan bertanya: ‘Apakah kalian sudah mendapat hidangan? Atau apakah sudah disuruh untuk menyiapkan untuk kalian sesuatu?’ Kami menjawab: ‘Ya, wahai Rasulullah.’
Saat kami duduk bersama beliau, datang seorang penggembala membawa kambingnya ke kandang. Bersamanya ada anak kambing yang mengembik. Nabi bertanya: ‘Apa yang baru lahir hari ini?’
Ia menjawab: ‘Seekor anak kambing.’
Beliau bersabda: ‘Sembelihlah seekor kambing sebagai gantinya. Jangan mengira ini khusus untuk kalian, kami punya 100 ekor kambing dan tidak ingin jumlahnya bertambah. Jika lahir anak kambing, kami sembelih seekor sebagai gantinya.’”
Kisah ini berlanjut dengan nasihat Nabi ﷺ tentang memilih pasangan, memperlakukan istri, dan tata cara wudhu yang sempurna. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hakim, adz-Dzahabi, para peneliti Musnad Ahmad, dan Syaikh al-Albani.
Sekilas Tampak Bertentangan dengan Riwayat “Tidak Ada Api di Rumah Nabi”
Hadits ini jelas menunjukkan bahwa Nabi ﷺ memiliki persediaan makanan yang bisa dimasak untuk tamu. Namun, ada riwayat lain yang menceritakan betapa sederhananya kehidupan beliau.
Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata kepada Urwah bin Zubair:
ابْنَ أُخْتِي، إِنْ كُنَّا لَنَنْظُرُ إِلَى الْهِلَالِ ثَلَاثَةَ أَهِلَّةٍ فِي شَهْرَيْنِ، وَمَا أُوقِدَتْ فِي أَبْيَاتِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَارٌ.
“Wahai anak saudaraku, kami pernah menunggu hilal hingga tiga kali dalam dua bulan, dan tidak pernah menyalakan api di rumah Rasulullah ﷺ.”
Urwah bertanya: “Bagaimana kalian makan?”
Beliau (Aisyah) menjawab:
الأَسْوَدَانِ التَّمْرُ وَالْمَاءُ، إِلَّا أَنَّهُ قَدْ كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم جِيرَانٌ مِنَ الأَنْصَارِ، كَانَ لَهُمْ مَنَائِحُ، وَكَانُوا يَمْنَحُونَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ أَبْيَاتِهِمْ فَيَسْقِينَا
“Dengan dua yang hitam: kurma dan air. Namun Rasulullah ﷺ punya tetangga dari kaum Anshar yang punya sejumlah hewan peliharaan, dan mereka sering memberi susu kepada kami.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain:
كَانَ يَأتِي عَلَيْنَا الشَّهْرُ مَا نُوقِدُ فِيهِ نَارًا، إِنَّمَا هُوَ التَّمْرُ وَالْمَاءُ، إِلَّا أَنْ نُؤْتَى بِاللُّحَيْمِ
“Bulan demi bulan berlalu tanpa kami menyalakan api. Makanan kami hanya kurma dan air, kecuali jika kadang diberi sedikit daging.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Bagaimana Mengompromikan Kedua Riwayat Tersebut?
Para ulama menjelaskan bahwa fase kehidupan Rasulullah di Madinah melewati beberapa fase:
- Di awal masa tinggal di Madinah, Nabi ﷺ dan para sahabat hidup sangat sederhana, bahkan untuk mendapatkan kurma pun tidak selalu mudah.
- Setelah kemenangan besar seperti Perang Khaibar, harta rampasan perang semakin banyak, termasuk kurma dan hewan ternak.
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
لَمَّا فُتِحَتْ خَيْبَرُ قُلْنا: الآنَ نَشْبَعُ مِنَ التَّمْرِ
“Ketika Khaibar ditaklukkan, kami berkata: Sekarang kita akan kenyang makan kurma.” (HR. Bukhari)
Kemudian terjadilah sejumlah penaklukan setelah itu, sehingga harta kekayaan kaum Muslimin di Madinah bertambah. Sejak itu, kehidupan Nabi ﷺ menjadi lebih lapang, sehingga beliau bisa menjamu tamu dengan daging dan hidangan lainnya.
Nah, kisah utusan Bani al-Muntafiq yang diceritakan oleh Laqith bin Shabirah radhiyallahu ‘anhu di atas terjadi pada “Tahun al-Wufud” (Tahun kedatangan para utusan ke Madinah), yaitu sekitar tahun 9 dan 10 Hijriyah, atau di akhir-akhir kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi ﷺ Mengalami Tiga Fase Kehidupan
Karena itu, para ulama menggambarkan dan menyimpulkan bahwa Nabi ﷺ mengalami:
- Fase Fakir – di awal kenabian dan awal hijrah ke Madinah, beliau hidup sederhana, bahkan kadang lapar berhari-hari.
- Fase Kaya – setelah banyak kemenangan, harta rampasan dan ternak bertambah. Namun beliau tidak menumpuk harta untuk diri sendiri.
- Fase Cukup (Kafaf) – beliau mengambil secukupnya untuk kebutuhan keluarga selama setahun, sisanya digunakan untuk dakwah dan jihad.
Penjelasan Para Ulama:
- Ibnu Qutaibah rahimahullah:
فحال النّبيّ صلى الله عليه وسلم عند مبعثه وحاله عند مماته؛ يدلّان على ما قال الله عز وجل؛ لأنّه بعث فقيرا، وقُبِض غنيا
“Maka kondisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat diutus dan saat beliau wafat menunjukkan apa yang disebutkan oleh Allah Azza wa Jalla (dalam Surah al-Dhuha-bahwa beliau mulanya miskin lalu dikayakan oleh Allah-penj); karena beliau diutus dalam keadaan faqir, dan diwafatkan dalam keadaan kaya.” (Lih: Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits, hal. 248)
- Al-Qurthubi rahimahullah: Beliau menggabungkan fase fakir, kaya, dan cukup. Di akhir hayat, beliau hidup dalam kondisi kafaf (mengambil secukupnya meski berkelimpahan) dan mencontohkan sikap zuhud. Dan jalan itulah yang juga ditempuh oleh para Khulafa’ al-Rasyidun. (Lih. Al-Mufhim, 7/130-131)
- Ibnu Taimiyah rahimahullah: Di kalangan orang-orang besar para nabi dan generasi Salaf ada orang yang kaya-seperti Nabi Ibrahim, Nabi Ayyub, Nabi Sulaiman ‘alaihimussalam, Ustman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhum-. Ada pula yang selalu fakir -seperti Nabi Isa, Nabi Yahya alaihimussalam, Ali bin Abu Thalib dan Abu Dzar radhiyallahu ‘anhum-. Tapi ada pula yang mengalami keduanya: terkadang miskin, terkadang kaya dan berkecukupan, sehingga mempunyai kepemurahan orang kaya dan kesabaran orang miskin; seperti Nabi Muhammad ﷺ, dan Abu Bakr al-Shiddiq serta Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhum.” (Lih: Majmu’ al-Fatawa, 11/124)
Pelajaran Penting dari Semua Ini:
- Kehidupan Nabi ﷺ itu ternyata dinamis – beliau pernah miskin, pernah kaya, dan pernah cukup.
- Zuhud Bukan Berarti Miskin – zuhud adalah hati yang tidak terpaut pada dunia, walau memiliki harta.
- Menjamu Tamu adalah Sunnah Mulia – bahkan di akhir hayatnya, Nabi ﷺ tetap memuliakan tamu.
- Mengatur Harta dengan Bijak – beliau menyisihkan kebutuhan setahun, sisanya untuk kepentingan umat.
Kesimpulan
Riwayat-riwayat tentang Nabi ﷺ yang hidup sederhana tidak bertentangan dengan riwayat yang menunjukkan beliau memiliki persediaan makanan dan harta. Sebab, masa hidup beliau terbagi menjadi fase kekurangan dan fase kelapangan.
Saat awal tinggal di Madinah, beliau mengalami kekurangan. Namun setelah banyak kemenangan, Allah melapangkan rezekinya. Meski begitu, beliau tetap hidup secukupnya, menjauhi kemewahan, dan memanfaatkan harta untuk kepentingan umat.
Wallahu a‘lam.
Disiapkan oleh: Dr. Muhammad Ihsan Zainuddin
Sumber: Hal Kana al-Nabiyyu Ghanniyyan am Faqiiran, https://archive-1446.islamqa.info/ar/answers/537054/